"SAUDARA....DAN SAUDARA-SAUDARA LAINNYA"
Kita tentu
tidak pernah tahu kapan mengajukan permohonan kepada Tuhan atau mungkin
leluhur, agar dijadikan status bersaudara dengan seseorang. Karena kita terlahir
dari satu pasang Ibu (& Ayah) itulah, tiba-tiba kita sudah mendapatkan
status menjadi bersaudara. Karena kita
punya Kakek yang sama kita jadi bersaudara sepupu. Karena kita terlahir dari
jalinan leluhur yang sama kita menjadi saudara ‘masidikara’, saudara se-dadya,
dst.
Dalam
tingkatan yang lebih luas, sering juga kita mendengar kata-kata seperti ‘saudara
se kampung’, atau dalam pergaulan di tingkat nasional kita menyebut diri
sebagai ‘saudara se tanah air’, begitu kan?
Dewasa ini banyak
sekali terbentuk organisasi yang berlatar belakang persaudaraan dari suatu klan
atau keturunan tertentu, dan kita mengenalnya sebagai lelintihan atau warih. Walaupun
sifatnya exlusive, asalkan dapat memberi
manfaat kepada ‘pratisentana’ dan
lingkungannya (banjar, daerah, bangsa dan negara) saya pikir hal tersebut
sangat bagus, sesuatu yang sangat mulia untuk betara lelangit dan merukunkan kembali persaudaraan yang sudah
tercerai berai sejak zaman dulu, mungkin karena bencana alam, mungkin juga
karena faktor politik di masa lalu.
“Weruh ring Weda, tan palupeng pitra puja’
potongan sloka dari Ramayana ini sering
kali tiba-tiba menyambar telinga lewat loudspeaker
saat Juru Shanti menembangkan kakawin ini di Pura saat Odalan atau dari rumah-rumah saat salah satu warga sedang menggelar upacara adat.
Bukankah pesan yang disampakan agar kita selalu ingat dengan leluhur, sehebat
apa pun dalam memahami ilmu pengetahuan filsafat, weda, jangan lupakan leluhur.
Itu sepertinya makna yang bisa saya tangkap.
Disisi lain, dalam dinamika masyarakat
terjadi situasi yang bersifat paradox, sering kita melihat pengingkaran-pengingkaran atas prinsip-prinsip kebersamaan yang terjadi pada ‘komunitas’
keluarga. Begini contohnya:
Karena alasan
status sosial & ekonomi, seseorang menjadi minder, jarang mau berkumpul
dengan keluarga besar (arisan, rapat untuk membahas kelanjutan pembangunan
Sanggah, misalnya). Bukankah leluhur tidak pernah menghendaki salah satu ‘warihnya’
berlaku seperti itu ? Kenapa kita ingkari?
Karena merasa
tidak cocok dengan cara pikir salah satu keluarga, atau memiliki masalah pribadi
dengan saudara lainnya, seseorang juga bisa ‘mogok sembahyang’ ke Sanggah Gede.
Kalaupun mau sembahyang memilih waktu yang sepi, tengah malam, ketika Sanggah
sudah tidak banyak orang. Hubungan manusia dengan Tuhan memang urusan pribadi. Dan,
jangan lupa bahwa di Bali, kita juga punya hubungan yang tidak kalah penting,
yaitu hubungan sosial (keluarga).
Belakangan
ini, sejak mulai digelar pesta politik (PEMILUKADA 2014) di negeri ini,
friksi-friksi kekompakan keluarga pun mengalami surutnya lagi. Di Koran (& media
lain) kita menyimak berita, ketika sang adik menebas saudara tuanya yang beda
haluan politik, hmmmmm….ternyata situasi politik juga mengambil peran besar
terhadap kekompakkan komunitas sebuah keluarga besar.
Ada juga yang
secara tersamar menulis status di social media, mendingan memilih jalinan ‘tetangga’ saja
terhadap keluarga di sebelahnya (yang beda haluan politik) dari pada memilih ‘satus
bersaudara’, ya…Tuhan, sebegitunyakah ?! Ternyata dalam situasi seperti ini terjadi dua kali
pengingkaran: pertama, pengingkaran terhadap keutuhan keluarga (besar). Kedua,
pengingkaran terhadap ‘mulia’nya demokrasi. Lembek sekali !!! (Kecubung, 26/3/14)
Komentar
Posting Komentar