Catus Pata dan Catur Mandala, Sebagai Titik Awal Pembangunan Suatu Kewilayahan pada Zaman Kuno (Tinjauan Historiografi *):

*): Istilah historiografi akrab pula disebut penulisan sejarah. Dibanding penulisan ilmiah, historiografi dipandang cukup sulit. Sebab penulisan sejarah tak hanya mengandalkan informasi dan argumentasi saja, melainkan harus terikat pada aturan logika serta bukti empiris.

Bila dicermati sutau kewilayahan di Bali, mulai dari pusat kota sampai di desa-desa, dimana pada kewilayahan tersebut ada berdiri  'Puri Agengnya', maka kita dapat melihat pola-pola yang hampir sama, seragam. Di salah satu sudut Catus Pata berdiri Puri, Bencingah, Pasar dan sebuah area lapang yang disebut Alun-Alun. Kadang pada Alun-Alun tersebut ditanami Pohon Beringin, Pohon Asam dan berbagai jenis pohon lainnya.

Kebetulan saja saya 'hobby' mengamati dan memerhatikan hal-hal seperti ini, yang berbau 'kekunoan', yang berbau 'pelestarian', yang berbau 'kehijauan alam' dan keindahan yang terpancar darinya.

Dari pengamatan ini, muncul perenungan. Dari perenungan ada beberapa pertanyaan yang tiba-tiba nyembul dalam benak: kenapa yang telah didiskripsikan di atas bisa hadir dalam kondisi hampir seragam di Bali ? Pastilah ada suatu pegangan atau acuannya, apa ?

Bila dikaitkan dengan zaman kekinian, adakah nilai luhurnya ? Atau, bisa jadi karena proses waktu yang berjalan cukup lama, melampai kurun waktu berabad-abad, tidak bisa disangkal telah terjadi putusnya sumber-sumber informasi (primer) sehingga terjadi ketidakfahaman. Dari ketidakfahaman ditambah kepentingan-kepentingan 'duniawi' dan atau kepentingan 'sektoral yang fragmentaris' sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang berakibat disharmoni dengan lingkungan, serta kebijakan-kebijakan yang keliru, baik oleh penyelenggara pemerintahan, desa adat sampai pada puri-puri yang ada pada kewilayah tersebut.

Walaupun sudah tidak konsen lagi pada bidang 'keilmuan', dengan berbekal pergaulan di 'bangku kuliah' untuk mendapatkan sedikit pengetahuan tentang penelusuran kehidupan zaman kuno, ditambah karya cipta dibidang penulisan (skripsi) "Konflik Sosial pada Zaman Bali Kuno (Abad IX-XI) plus satu makalah yang saya persembahkan kepada Desa tempat KKN (Th. 1989), "Menelusuri Keberadaan Desa Sudaji" semakin menambah semangat untuk menggerakkan fikiran, niat dan langkah untuk memulai menelisiknya.

Sumber History

Dari penelusuran saya temukan 2 (dua) sumber literasi. Sumber literasi ini baru bersifat petunjuk, yang semoga suatu saat bisa langsung didapatkan data primernya : Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan Lontar Lontar Batur Kelawasan (Konon adalah koleksi di Gedong Kertya, Buleleng)

a. Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti ;

bahwa konsep tentang 'negara' dan tata letak suatu Puri dalam Catus Pata di Bali tertuang dalam lontar ini, dan menjadi tuntunan pembangunan Puri-Puri di Bali. Konsep Catus Pata merupakan konsep perpotongan antara sumbu spiritual dan sumbu bumi / Kangin-Kauh dengan Kaja-Kelod. Dari garis sumbu Kaja Kelod - Kangin Kauh dengan Catus Pata sebagai titik ‘Nol’ membagi area menjadi 4 elemen penting,  yaitu  4 (empat) mandala (catur mandala), yaitu area atau zona Posisi Puri (sebagai pusat pemerintahan kala itu) di posisi Timur Laut (Kaja Kangin). Lalu ada Bencingah (adalah ruang terbuka, biasanya ada Wantilan, posisi di Kaja Kauh); fungsinya sebagai kegiatan sosial, yang sifatnya semi 'sakral - profan*: (Info : A.A. Gde Mayun, Puri Tulikup). Posisi Pasar ada di Tenggara (Kelod Kauh); fungsi ekonomi (zaman kekinian bila berdiri LPD tentu masih relevan). Alun-Alun ; berada pada posisi di Tenggara (Kelod Kangin) berupa ruang terbuka (hijau). Fungsi: kegiatan sosial. Pada beberapa kewilayahan misalnya di Kota Denpasar (Jaya Sabha, bekas Puri Ageng Denpasar) juga Alun-Alun Gianyar (depan Puri Ageng Gianyar), pemerintah setempat telah membangun ruang hijau terbuka yang ditampilkan dengan sentuhan estetika.

Begitulah sebuah wilayah disiapkan. Apa bila Puri tersebut sebagai ‘moncol’, maka ‘moncol’ atau ‘Puri Utama’ akan dikelililing lagi oleh struktur yang sama dengan area yang lebih kecil yang dihuni oleh saudara dan kerabat dekat dari 'Puri Moncol', ada yang disebut sebagai Puri / Saren Kaler, Kauh, Kangin, Kelod, atau nama-nama lain (dalam salah satu sumber tertulis yang pernah saya baca, di Jawa / Keraton di Jawa ada dikenal istilah 'mancapat' – serba empat lagi).

Munculnya Puri-Puri di Bali diperkirakan mulai abad 17-18 M, setelah runtuhnya Kerajaan Gelgel dari Dinasti Dalem, yang mengalami masa keemasan Bali pada era Dalem Waturenggong dengan Baghawanta yang tersohor, seorang pendeta sakti dari Majapahit ; Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirarta). Tradisi Puri dengan Bhagawantanya masih berlanjut hingga pada masa kini. Kesusateraan yang berisi berbagai pengetahuan juga diperkirakan sangat maju pada era ini.

Puri Utama (Moncol) adalah kedudukan 'Sang Ngawa Rat' menjalankan pemerintahan secara 'Trias Politica' (seorang eksekutif, legislatif, sekaligus juga merangkap judikatif / kerta). Sebagai seorang Sang Ngawa Rat, mengatur pemerintahan pada kewilayahnnya, termasuk membangun Khayangan Tiga, tempat suci lainnya dan mengatur 'bhukti / pelaba' sebagai pemeliharaan bangunan suci tersebut.

b. Lontar Batur Kelawasan;

sepertinya lontar ini lebih popular, karena 'sepertinya' salah satu dari isinya tentang Sad Kerthi*: yang dipakai sebagai salah satu landasan dan pedoman dalam mengambil kebijakan dalam menjalankan pemerintahan oleh pasangan Gubernur Wakil Gubernur Bali pada era Bapak I Wayan Koster dengan Cok Ace (*: Sad Kerthi, yaitu enam sumber kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan manusia, meliputi : 1) Atma Kerthi; 2) Segara Kerthi; 3) Danu Kerthi; 4) Wana Kerthi; 5) Jana Kerthi; dan 6) Jagat Kerthi)

Bila dicermati, lontar ini layak kita sebut sebagai lontar 'Penjaga Alam Bali', sebuah tuntunan untuk menjaga kelestarian alam. Mirip juga dengan apa yang kita fahami sebagai fengshui atau hongsui dalam kebudayaan Cina Kuno (yang juga masih mentradisi hingga kini) yang mengatur spasial struktur atau tempat, dan orientasi yang berhubungan dengan aliran energi (qi) agar selaras dengan kekuatan rohani yang menghuni tempat itu sehingga dapat hidup dalam harmoni (*:spasial adalah data yang memiliki referensi ruang kebumian ;Wikipedia)

Dalam kaitannya dengan pembangunan sebuah Puri, lontar ini mengaturnya dengan kutipan sbb:
  1. Posisi Puri di Timur Laut / Kaja Kangin dari titik nol Catus Pata ; adalah utama,
  2. di Tenggara / Kelod Kangin; adalah buruk karena negara akan hancur (agni murub),
  3. di Barat Daya / Kelod Kauh; adalah baik karena raja akan dihormati (kweh bakti),
  4. dan di Barat Laut / Kaja Kauh ; adalah baik, karena raja akan bersifat sosial (dana).

>: Kutukan dalam Lontar Batur Kalawasan

Lontar Batur Kalawasan rupanya mengikuti pola-pola format prasasti yang diterbitkan pada lembaran tembaga atau batu yang merupakan tradisi sejak kerajaan Hindu mulai berkembang di Indonesia. Salah satu polanya adalah adanya bagian 'sapata' atau kutukan atas pelanggaran terhadap apa yang telah diputuskan.

Dari ke dua jenis lontar, Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga adalah : pengaturan ruang suatu wilayah atau kawasan, dalam hal ini: Catus Pata dengan Catur Mandalanya, yaitu: Puri, Bencingah, Pasar dan Alun-Alunnya. Sedangkan Lontar Batur Kalawasan adalah ‘Buku Hijau’ pada masanya, yang mengisyaratkan dengan keras bagaimana kita musti menjaga lingkungan dengan baik dan mendapatkan manfaat baiknya. Tentu juga ada ganjaran / kutukan bagi yang mengingkarinya. Ini kutipannya:

Ling ta kita nanak akabehan, riwekasan, wenang ta kita pratyaksa ukir lan pasir, ukir pinaka wetuning kara, pasir angelebur sahananing mala, ri madya kita awangun kahuripan, mahyun ta kita maring relepaking telapak tangan, aywa kamaduk aprikosa dening prajapatih, yan kita tan eling, moga-moga kita tan amangguh rahayu, doh panganinum, cendek tuwuh, kageringan, lan masuduk maring padutan

Terjemahannya: Ingatlah pesanku, wahai anak-anakku sekalian, di kemudian hari jagalah kelestarian gunung dan laut, gunung adalah sumber kesucian, laut tempat menghilangkan kekotoran, di tengah dataran melaksanakan kegiatan kehidupan, hiduplah dari hasil tanganmu sendiri, jangan sekali-kali hidup senang dari merusak alam, kalau tidak mematuhi, kamu terkena kutuk. Tidak akan menemukan keselamatan, kekurangan bahan makanan dan minuman, terkena berbagai macam penyakit, dan bertengkar sesama saudara.

Penutup:

1. Tulisan pendek ini tiada maksud untuk menggurui, hanya ingin membuka fikiran siapa saja betapa niliai-nilai luhur masa lalu itu masih relevan hingga kini. Betapa kita merindukan sebuah tempat lapang, ruang terbuka, hijau menyegarkan mata dan hati di tengah-tengah 'kesumpekkan' yang semakin menghimpit. Sebuah tempat untuk 'ngetis', atau sekedar ngobrol bercanda tentang 'kelaraan'. Sebuah tempat yang mudah diakses (antisipasif) bila terjadi kebencanaan ; semoga tidak akan pernah terjadi.

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk pihak-pihak, siapa saja yang bisa jadi saling klaim kepemilikan salah satu mandala yang telah diuraikan di atas. Mandala (sebut saja tanah) adalah milik Tuhan, lalu oleh pendiri wilayah telah dibagi menjadi empat dengan fungsinya masing-masing. Jangan diutak-atik lagi (ingat 'sapata' demi keselamatan bersama, sekala, niskala)

OM ANO BADRAH KRATEVO YANTUVISWATAH ...






Komentar

Postingan Populer