Malam ini sepertinya embun sudah mulai turun ke bumi, dan kulihat Bidadari


Add caption

Jam 6 pagi, sayup-sayup alunan Puja Tri Sandhya terdengar lamat terhembus angin dari pengeras suara di banjar sebelah. Ini hari minggu, awal tahun. Di kebun belakang rumah, saya duduk pada potongan-potongan kayu alpukat yang baru ditebang beberapa hari yang lalu, ranting dan dahan-dahan kecilnya berserakan. Pohon ini sengaja saya tebang, krn sudah tua dan mati sendiri, dari pada roboh sendiri, kan membahayakan. GungDe Putra dan GungDe Bagus, ke dua anak saya, bila sedang tidak sekolah, les atau kegiatan Pramuka, sering bermain disini.

Beberapa hari ini, hujan tidak turun lagi, saya pandangi tanah kebun yang sudah mulai mengering, sangat kontroversial dengan berita di TV, beberapa daerah di Indonesia malah sudah bercanda dengan banjir.

“Ada yang hilang”, reflex bibir saya bergumam, memandang daun-daun kecipir dan koro yang sudah berumur 2 bulan. Tidak ada lagi bulir-bulir air, sisa guyuran hujan yang menempel di dedaunan. Biasanya hujan selalu hadir jelang pagi, melepas rindu dan membasuh bumi terkasih. Kemanakah hujan ? Oh, hujanku telah ilang. Haruskah kutanya pada rumput yang bergoyang ? (ha…ha… itu mah lagu Ebiet G. Ade)

Saya seruput sedikit kopi panas, hmmmm….enak juga, kopi Flores, oleh-oleh dari teman. Asyik, pagi-pagi ngopi di kebun. Tadi sengaja saya bawa secangkir kopi ke kebun. “Ah…kok masih ada perasaan yang belum klop, masih ada sesuatu  yang hilang”, belum ketemu jawabannya.

“Oh ya….. sudah lama tdk kulihat embun”, tiba-tiba ingatan saya tertuju pada embun pagi. Sudah berapa lama saya tdk pernah menjumpainya lagi.  Seminggu yang lalu ? sebulan yang lalu? setahun? lebih !!! Kemana embun pagi ? Saking lamanya tdk pernah kulihat lagi, kosa kata ‘embun pagi’ hampir terhapus dari memoriku. Ah…ini yang membuat perasaan sejak pagi merasa tdk klop. 

Sejak kecil saya  suka bermain di kebun, di pematang sawah, bersama pepohonan dan daun-daun. Saya suka memandang kemudian memicingkan mata sebelah, melihat pendaran bulir-bulir embun pagi di dedaunan, bak kristal, bening…..Inilah pemandangan paling eksotik ketika hangatnya mentari mencumbui embun pagi.

Sepenggal ingatan, sebuah romantisme masa lalu. Ah…itu hanya kenangan saja, kemana harus mencarinya lagi?. Akankah masih kita dapatkan sekarang?  Ketika manusia makin angkuh,  ketika musim mulai berpaling dan ketika alam mulai murka ? Teringat ceritera Nenek tentang Bidadari dan embun pagi. Berharap ada Bidadari  mandi di atas awan, airnya turun ke bumi, berpendar-pendar menjadi embun pagi.

Tanpa kusadari, hari beranjak sore…., terpekur sendiri di kebun, hingga malam.  Dan, malam ini … sepertinya embun sudah mulai turun…ke bumi…dan kulihat juga ada Bidadari…. (Sumanggen, PAS, Januari 2014)

Komentar