Singa Extravaganza



Dulu, hutan itu indah dan luas. Pepohonan  tumbuh besar-besar  & subur. Walaupun daunnya cukup rapat, toh sinar mentari masih leluasa menembus celahnya, menjadikan sebuah pemandangan yang eksotis. Bias sinarnya pun mampu menghangatkan bulu-bulu halus anak-anak burung yang sedang mendengkur disarangnya. Hutan dibelah sungai yang cukup besar, airnya bening & segar. Sekawanan rusa nampak berbagi riang dalam riak  sungai yang airnya mengalir bening dari hulu di gunung. Gajah, Harimau, Tapir, Beruang bermalas-malasan sambil menjemur bulu-bulunya. Semalaman hutan diguyur hujan yang cukup lebat, sehingga bulu-bulu mereka basah. Kondisi hutan nampak tenteram walaupun sekali-sekali pasukan lutung berekor panjang berbuat jahil kepada sesama penghuni hutan lainnya. Masyarakat hutan punya toleransi yang tinggi.

Dan, kini...ketika consumptive lifestyles telah mempengaruhi penghuni hutan, tatanan dan nilai-nilai luhur yang dari dulu mereka anut pun mulai mengalami degradasi. Dulu anak-anak Monyet kalau ke sekolah di SMP (Sekolah Monyet Pertama), mereka masih jalan kaki sendiri-sendiri, tidak ada yang diantar orang tuanya. Orang tua Monyet pun sekarang enggan meloncat dari  pohon yang satu ke pohon lain dengan telanjang kaki dan telanjang tangan. “Capek dan gengsi”, katanya. Pasukan monyet sekarang sudah menggunakan sarana transportasi ‘flying fox’, praktis kan?

Bagimana dengan keluarga Rusa? Di dekat sungai, di sebelah pohon paling besar di hutan itu dulu ada padang rumput yang luas. Alun-alun, sebut saja begitu. Rusa yang dikenal dengan kelincahan dan kegesitannya sering bermain disini. Bila bulan purnama, keluarga Rusa bersama keluarga Kijang, Kancil, Kambing dan Kelinci sering bermain ‘gala-gala’. Derai tawa cerianya lamat-lamat terdengar sampai pagi.

Sudah lama alun-alun itu senyap. Rumput liar tumbuh dimana-mana karena jarang diinjak & dibersihkan. Kemana mereka? Zaman memang harus berubah. Anak-anak Rusa, Kijang dan keluarga sejenis kini telah punya mainan baru, tidak lagi di alam liar, tapi di bilik-bilik ‘game rental’. Mereka telah berubah jadi gamers. Itu buat keluarga yang sedikit ‘kere’. Tapi buat keluarga yang berada, dirumah telah tersedia PS (PS keluaran termutakhir), ada game boy, PSP, PC & laptop yang terhubung internet sehingga bisa main ‘game on line’.  Sehingga tidak aneh kalau kecil-kecil mereka sudah pakai kaca minus, bukan karena rajin baca buku, tapi karena keseringan melototin monitor game.

Antar keluarga binatang berkaki empat  dan pemakan rumput sekarang sudah jarang bertegur sapa, karena memang jarang keluar rumah. Mereka memilih teman main yang kelasnya selevel. Keluarga Kijang  misalnya sudah tidak mau arisan sama keluarga Kambing, karena dianggap kelas bawah, tidak gaul, kurang fashion dan tentu saja keteknya  bau kambing (he..he..)

Karena pola hidup ‘extravaganza’, akhirnya masyarakat jadi rakus & tamak. Mulailah ‘ibu pertiwi’ dijadikan komoditi, dijual demi uang. Alun-alun yang dulu dijadikan tempat bermain kini telah jadi perumahan. Penghuninya rata-rata dari penduduk hutan seberang sungai. Hutan sudah tidak jadi indah dan damai. Konflik kecil sudah mulai antara penghuni hutan lama & pendatang baru.

Yang paling menyedihkan, ketika keluarga Kerbau & Keledai yang tinggal di dekat pantai juga menjual tanahnya kepada investor, padahal di areal lahan tersebut ada sebuah Kuil  Pemujaan untuk Dewa Kesuburan Tanah’. Pantas saja ! Bukankah Kerbau & Keledai memang dianggap binatang yang paling dungu ?

Bagaimana dengan Singa, Si Raja Hutan sekaligus tetua adat di hutan ini? Masyarakat hutan yang masih ‘punya hati’ seperti Burung Puyuh yang selalu terbang ‘ngelayab’ diantara semak belukar hutan, Kedis Celepuk, Si Burung Hantu yang hanya berani keluar malam, Kuluk Bengil dan temannya  Cicing Gudig (anjing  kudisan) serta  binatang lain, sangat berharap terhadap Si Raja Hutan  agar bisa melindungi  dirinya bersama hutan & penguni lainnya dari ‘serangan’ investor. Sosok berwibawa inilah harapan terakhir mereka!

Setelah bertemu Raja Hutan, mereka menelan kekecewaan yang mendalam. Kakinya gemetar, hatinya hancur, serta merta matanya kunang-kunangan, saat Si Singa dengan suara angkernya berkata, “berapa kamu berani lepas per-are tanah mu?”

Ya Ampiu….n, Macan yang seharusnya sebagai pelindung & pelestari adat kini punya profesi baru. Singa dan bangsa Macan  membentuk sebuah lembaga baru, namanya PERMATA alias Persatuan Makelar Tanah.

Matahari mulai terbenam di ufuk barat, sinarnya kelabu, sangat kelabu. Cicing Bengil dan kawan-kawan pamit dari rumah Macan, melintasi jalan-jalan yang sudah dipasangi patok-patok pemilik tanah baru. Hatinya ‘galau’, pikirannya menerawang, menerawang lembaran-lembaran ‘Lontar Awig-Awig Kehutanan’ yang hanya indah untuk dipajang. Tapi nilai-nilai luhurnya telah ‘sepakat’ untuk dilanggar bersama-sama!

(Nyuh Patar, Buda Urip, 16 Nov 2011)

Komentar