Seniman Bali dan 'Air Campuhan'

 

“JALADHARA SASMITA DANU KERTHI” diterjemahkan secara bebas mengandung makna AIR SEBAGAI SUMBER PERADABAN, adalah tema yang diangkat dalam Festival Seni Bali Jani tahun 2022 ini. Setelah 3 tahun acara ini digelar, dan tahun ini adalah yang ke-4. Sudah sesuai dengan harapankah ? Adakah kemajuan,  atau malah stagnasi ?

Salah satu bentuk kebesaran  Yang Maha Kuasa terhadap Pulau Bali adalah, ketika pulau kecil ini tidak memiliki kekayaan berupa sumber daya alam, maka dianugerahi keindahan alam dan kebudayaan yang adi luhung. Suku Bali, mayoritas penduduk sekaligus  ‘pemilik’ dan pendukung utama kebudayaan Bali, telah ribuan tahun membangun dan menjalankan peradaban dengan berbagai dinamika sesuai zamannya. Data arkeologis berupa monumen, catatan prasasti adalah data absolut tentang hal tersebut.

Arkeolog memperkirakan, Bali mulai memasuki era sejarah sekitar abad ke-8. Peradaban dimulai Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu. Kedua sungai ini masing-masing membelah wilayah Kecamatan Tampaksiring dan Tegalalang,  aliran airnya bermuara di bagian selatan Pulau Bali. Di daerah aliran sungai inilah peradaban Bali Klasik mulai berkembang. Pendirian tempat-tempat suci keagamaan pada lokasi yang dekat dengan sumber air rupanya menjadi pertimbangan.  Dalam buku  TINGGALAN ARKEOLOGI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PAKERISAN DAN PETANU yang disusun Oleh : Drs. I Wayan Gede Yadnya Tenaya, M.Si  dan rekan,  disebutkan ada sekitar  208 buah titik situs di sepanjang daerah alirannya.

Air sebagai sumber peradaban juga dapat dijumpai di sekitar Danau Batur (Bangli) dan Tamblingan (Buleleng). Bagaimana masyarakat ing wingkang ranu menjalankan peradaban, menjaga bangunan suci, hutan, berkesenian, termasuk juga dalam hal mengelola konflik.

Selain keindahan monumen (candi), ukiran (relief), sastra (prasasti), membangun unsur-unsur keindahan lewat seni ‘karawitan’ dan ‘teater’ juga dapat diketahui dari beberapa istilah yang tercantum dalam tinggalan prasasti. Dari buku SENI DAN PRINSIP ESTETIKA JAMAN BALI KUNO: MASA PEMERINTAHAN RAJA UDAYANA SAMPAI ANAK WUNGSU (tahun 989-1077 M) ada disebutkan   beberapa istilah, yang oleh para ahli dikaitakan dengan ‘dunia kesenian’, ada istilah :pamukul (pemukul gamelan), pagending (penyanyi), pabunjing (pemain angklung bambu ?), papadaha (tukang kendang), perbangci (peniup seruling), partapukan (lakon topeng), parbwayang (tontonan wayang), abanjuran (pertunjukan gamelan prosesi), abunawal (semacam dagelan atau lawakan).

Hubungan Bali dengan Kerajaan Majapahit juga memberi pengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bali, khususnya pada bidang seni sastra. Begitulah kemampuan masyarakat Bali dalam menjaga, melestarikan seni budaya luhur tetap terjaga hingga masa kinijani (dibaca: saat ini).

Sekarang, sebagaimana dilihat bersama, bahwa kesenian Bali, baik yang klasik dan modern melesat berbarengan. Pemanfaatan teknologi komputer dan digital adalah ‘sahabat’ dalam berkarya. Piranti ini seolah-olah menghilangkan keterbatasan. Mengaransemen musik, mendisain gambar, menampilkan pertunjukkan dengan efek-efek yang menakjubkan adalah sebuah keniscayaan. Isu terbaru, ketika Mangku ‘Matah Gede’ Serongga’ menghentak Jakarta. Pementasan seni tradisi Bali ketika mendapat sentuhan teknologi dan manajemen modern menjadi luar biasa (Pementasan Sudamala; dari Epilog Calonarang, Tgl. 10-11 September 2022, di Gedung Arsip Nasional, Jakarta)

Berkaitan dengan Festival Bali Jani ke-4 yang saat ini sedang berlangsung, menyurut beberapa hari ke belakang, menarik untuk dicermati pengarahan dan catatan kecil Ibu Putri Suastini Koster, selaku Ketua Dekranasda sekaligus penasehat FSBJ pada acara rapat pleno persiapan akhir pelaksanaan FSBJ IV bertempat di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali. Bisa jadi karena berlatar belakang seniman teater yang banyak ‘melahap’ naskah-naskah berat penuh filosofi, di hadapan panitia dan pemangku kepentingan lainnya, Ibu Putri Suastini  berbicara  lancar dan lugas.

Sebenarnya Bali telah memiliki acara tahunan Pesta Kesenian Bali (PKB). Dalam pandangannya, materi PKB yang seharusnya adalah ruang untuk karya dan penampilan seni-seni klasik, masih terselip beberapa seni modern. Atau bisa juga disebutkan, bahwa seni Bali modern sangat sedikit mendapat ruang di ajang PKB. Dari situasi inilah Ibu Putri Suastini yang tahu banyak tentang kehidupan kesenian  masyarakat Bali,  mempunyai gagasan untuk menyiapkan ruang baru. Ruang baru tersebut adalah FSBJ.

FSBJ merupakan kegiatan apresiasi budaya untuk pemajuan kesenian modern, kontemporer dan seni inovatif diselenggarakan sebagai aktualisasi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, yang telah  diundangkan pada tanggal 9 Juli tahun 2020 silam.

Eda ngaden awak bisa, sebuah penggalan syair Pupuh Sinom menjadi ilustrasi ‘sindiran’ kepada seniman dan pelaku seni. Sebuah koreksi atas sikap agar selalu rendah hati ketika berkarya dalam bidang apapun, termasuk di bidang seni. Sebagai sesama seniman, rupanya Ibu Putri Suastini melihat sikap yang kurang baik terhadap sesama seniman. Sikap arogan dan sombong atas hasil karya cipta, misalnya. Terus menerus  berkarya, menciptakan karya  terbaik, adalah pesan-pesannya. Berdoa sebelum mulai karya, persembahkan karya kepada Tuhan, jangan terkontaminasi motivasi  buruk.  Kata kunci dalam pesan tersebut berupa plesetan potongan syair Pupuh Sinom tadi,  ‘eda ngaden awak bisa depang penonton ane ngadanin’, pesan pun menjadi lebih menghujam.

Walaupun tidak disebut dengan istilah yang sama, sebenarnya apa yang disampaikan Ibu Putri Suastini Koster, tidak jauh beda dengan seniman (teater) lainnya. Anak Agung Mas Ruscita Dewi, dalam bukunya NADI TEATER ; Kajian Filsafat Samkhya Yoga. Seorang seniman diharapkan mampu ‘nadi’ atau menjadi sesuai perannya.

Mendapat anugerah dan kesempatan menjadi istri orang nomor satu di Bali, Ibu Putri Suastini berkeinginan terus memajukan dan memberi ruang kepada pelaku seni lewat FSBJ. Bersama-sama memikirkan, menuangkan ide dan konsep apa yang dulu masih dalam angan, termasuk 'kesejahteraan' juga tumbuh  dalam pemikirannya. Bagaimana para seniman dan pegiat seni mendapat penghargaan 'honor' yang layak. 

FSBJ IV benar-benar telah menjelma menjadi ruang baru. Musik Keroncong, Reggae, Musik Pop Bali, sampai Dangdut juga telah mendapat ruangnya di sini. FSBJ tetap mengedepankan estetika seni dengan konsep eksplorasi; pencapaian seni inovatif berbasis kreativitas pribadi, sementara ide dan subjek eksplorasi tetap berbasis tradisi Bali. FSBJ IV juga telah naik kelas, ketika dulu hanya lokal Bali, kini telah melibatkan daerah-daerah lain (nasional).

Kemampuan para kurator menghadirkan pemateri, pengisi (pementasan), dewan juri berbagai acara dan lomba juga sangat luar biasa. Nama-nama besar,seperti:  Putu Wijaya, Garin Nugroho, Putu Fajar Arcana, adalah bukti kualitas FSBJ IV semakin menukik, naik.

Walaupun susah mencari retaknya, dalam pepatah ‘tiada gading yang tak retak’, sebuah catatan untuk tim kurator, agar lebih tajam lagi memasang ‘radar’  memantau seniman atau grup seni di berbagai pelosok Bali, yang mungkin karena keterbatasan akses, kehilangan kesempatan untuk bisa hadir di FSBJ. Hal ini juga untuk menghindari kesan yang tampil ‘itu-itu saja’.

PKB dan FSBJ adalah puncak-puncak keagungan dan ruang-ruang berkarya seniman Bali. Yang klasik, yang modern, kekinian, sama-sama mendapat ruangnya. Darah seni orang Bali tidak bisa disangkal lagi. Ibarat ‘Air Campuhan’ yang mempertemukan dua aliran sungai menjadi satu, menjelma indah, dan juga tenget. Begitu pula kemapuan orang Bali mengawinkan etika bersama aliran logika, telah menciptakan estetika yang juga tenget, ‘metaksu’.

Komentar

Postingan Populer