'Ajam Mepaloe' dan 'Ida Anake Agoeng Manggis'


Dulu, entah di mana cover buku tersebut pernah saya lihat ?. Kini, ketemu lagi. Beberapa hari lalu ketika hadir di acara Festival Seni Bali Jani ke-4 (FSBJ IV)  untuk nonton teater modern ‘Monolog Drupadi’ disutradrai Putu Fajar Arcana bertempat di Gedung Ksirarnawa,  sebelum pertunjukkan dimulai, sempat mampir di ‘Beranda Pustaka’ (masih di lokasi yang sama). Nah, di antara ratusan buku-buku lain, ketemu lagi dengan buku ini. Ternyata judulnya ‘Tonggak Baru Sastra Bali Modern’ oleh I Nyoman Darma Putra (Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Ph.D.,)

Lalu apa hubungan ceritera di atas dengan judul tulisan ini ? Begini ! Setelah menyermati beberapa halaman, bahwa buku tersebut  adalah 'bantahan' atas teori sebelumnya, sesungguhnya  ‘babakan’ Sastra Bali Modern’ di mulai pada era tahun tiga puluhan. Teori tersebut berdasarkan ditemukannya prosa (roman) berjudul ‘Nemoe Karma’ (baca: Nemu Karma) karya Bapak Wayan Gobiah, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1931.

Berdasarkan penelusuran Nyoman Darma Putra,  tonggak baru Sastra Bali Modern justru sudah mulai sejak tahun 1910, dengan ditemukannya beberapa cerpen berbahasa Bali pada era tersebut.  Awalnya hanya tiga  atau empat cerpen, termuat dalam buku-buku pelajaran membaca (text book) untuk sekolah-sekolah di Bali pada zaman  Belanda. Text book tersebut tersimpan dalam microfilm, koleksi V.E. Korn. Selanjutnya, ditemukan tambahan cerpen-cerpen  lainnya  di Gedong Krtya, Singaraja.

Salah satu cerpen dalam dekade tahun 1910 tersebut berjudul  Ajam Mepaloe (baca: ayam mepalu) yang artinya ‘ayam bertarung’. Ajam Mepaloe dikarang oleh I Made Pasek. Dalam buku ini disebutkan bahwa Imade Pasek berasal dari Singaraja dan pernah tinggal di Gianyar sebagai tenaga pendidik.

Bisa jadi, karena tinggal di Gianyar, I Made Pasek banyak melihat kehidupan sosial dan budaya di Gianyar kala itu. Sebagai seorang guru dan pengawi, maka beberapa hal menarik yang dilihatnya menjadikan inspirasi lewat karya (cerpen), salah satunya adalah cerpen Ayam Mepaloe dengan setting ceritera ‘menyinggung’ keberadaan Ide Anake Agung Manggis di Puri Agung Gianyar.

Nah, tidak sabaran kan,  bagaimana ceritera dibangun? Berikut dipetikkan beberapa paragraf dalam ceritera tersebut  (agar mudah dibaca, teks sudah disesuaikan)

"Sedaweg rahina Soma Umanis, wara Tolu punika, pinuju odalan pelungguh Ida Anake Agung Manggis, ring Puri Agung Gianyar, Ni Luh Sumerasih mekinkin  jagi mebalih  Gambuh ke Puri. Wusan ipun mesigsig, mesuwah, mepusung cara Gianyar, raris memeka nabdabang sesemi, kalih mepupur lamat-lamat. Wus punika raris mesekar cempaka kuning ring cempaka putih, sami mekatih.

Sepupute mepayas, tumuli ipun memargi kesarengan  antuk timpal-timpal ipune ngepuriang mebalih. Sawireh Ni Luh Sumerasih megegesoan memargi, kenginan mekane  kantun duwur balene, masedegdeg ring sok wadah berase, sane medaging beras meres malih tan petekep.

Kocap wenten ayam wawu kemukur, manjing ke gedongan….", dst. 

Hanya dengan membaca dua paragraf pembuka saja, sudah bisa 'membuka tabir' atau  gambaran agak detail tentang lifestyle (remaja) kala itu (tahun 1900-an). Salah satunya, beramai-ramai sesama teman sebaya nonton hiburan ke Puri. Bisa dimaklumi, betapa susah mendapatkan hiburan (kesenian) kala itu. Ide Anake Agung sebagai Raja Gianyar membuka Puri (seluas-luasnya) kepada rakyat. Walau tidak disebutkan, pertunjukkan digelar di area terluar komplek Puri, di “Ancak Saji’ (sesuai tradisi).

hal yang menarik lainnya, bagaimana gadis-gadis bersolek, membedaki muka mereka, menyematkan beberapa kuntum kembang (cempaka kuning dan putih), sampai model rambut (pusungan) ala Gianyar. Jelas sekali disebutkan ‘mepusung cara Gianyar’. Bisa jadi, I Made Pasek sang penulis cerpen  asal Singaraja, melihat ‘gaya beda’ pada pusungan rambut 'ABG' Gianyar dengan 'ABG' kota asalnya.

Terakhir, buat para ‘pengamat sejarah’, dengan memperhatikan peristiwa ‘perayaan’ hari kelahiran (odalan / paweton) Ida Anake Agung yang jatuh pada hari Soma (Senin) Umanis, wara (wuku) Tolu pada tahun 1910, kemungkinan yang berkuasa saat itu adalah Dewa Manggis VIII (1896-1912), seabad lebih (139 tahun) setelah berdirinya ‘Keraton’ Gianyar.

______________________________________________________

Denpasar, ketika hujan mendera 'Gumi Bali', Selasa, 18 Oktober 2022 #JemariKariMenari

Komentar

Postingan Populer