Aku Rindu Jubel, Cucutan, Kakul, Klipes dan Blauk

Aku rindu jubel, cucutan, kakul, klipes. Juga rindu blauk yang ketika  proses metamorfose berjalan sempurna blauk akan berubah menjadi capung muda, lalu dengan anggunnya bertengger di helai-helai daun padi. Ketika bulunya kuat, dia akan terbang bersama hempasan angin .

Pan Jaya merenung, tepatnya ng’hayalin’ peristiwa berpuluh-puluh tahun yang lampau, ketika dia masih kecil. Merindukan suasana ‘surga kecil’ pada petak-petak sawah.  Kini dia sudah menua bersama zaman. Dia adalah salah satu saksi hidup, betapa perubahan itu benar-benar abadi adanya. Pan Jaya bisa melihat bagaimana alam dan kehidupan sosial 40 tahun yang lalu dengan zaman kekinian. Kepenatan masa lalu dengan kemakmuran hari ini tidak sejalan dengan tingkat ketentraman batin dan kesejahteraan yang dirasakan.

‘Bli Jaya…..’, tiba-tiba ada suara panggilan menyebut namanya, suara yang sudah sangat dia kenal. Dia adalah Luh Sekar, istri yang telah menemani hidupnya selama 35 tahun, yang juga selalu setia membawakan sebakul kecil makanan untuk makan siang di sawah.

‘Eh…Luh Sekar’, sahut Pan Jaya seraya memalingkan wajahnya ke arah istrinya.

‘Melamun ya Bli?’ tanya Luh Sekar sambil menata makanan buat suaminya.

‘Ada apa Bli, jelekkah panen kita sekarang? Luh Sekar melanjutkan pertanyaannya

‘Ah…tidak’

‘Lalu kenapa melamun ?,  raut wajah Beli juga terlihat bed mud !’ Luh Sekar mencecar dengan dua pertanyaan beruntun. Ada terselip kosa kata asing, yang dia sendiri kurang faham betul artinya. Pokoknya bed mud (bad mood) itu artinya wajah suaminya tiba-tiba jadi jelek.

Bli Jaya menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. ‘Bli lagi mikirin air yang mengalir ke sawah kita ini’, jawab Pan Jaya.

‘Kenapa Bli, airnya seret ?

‘Tidak juga’

‘lalu?’

Pan Jaya Menarik tangan istrinya, digenggamnya kuat. Nah yang ini persis adegan ‘Ikatan Cinta’, itu lho sinetron di tipi yang lagi nyedot banyak pemirsah dan iklan.

‘Ada apa sih Bli, kok jadi romatis begini, nggak lucu ah’, Luh Sekar menampik tangan suaminya yang tentu saja  sudah mengeriput,  kasar dan kusam.

Pan Jaya tertawa berderai, istrinya tambah bingung. ‘Dalam kehidupan ini terkadang banyak susahnya, banyak sekali. Tapi kita tidak boleh terlalu risau, harus tetap mampu menciptakan keceriaan. Dan adegan ‘drama’ yang Beli lakukan tadi adalah salah satu upaya agar kita tetap bisa tersenyum dalam kejenuhan dan problematika hidup ini'. Bli Jaya memandang istrinya, I Luh Sekar terenyum malu, lalu menunduk. Eh… masih ada getar-getar ‘gimana gitu’ di hatinya, di hati seorang perempuan dalam usia yang sudah menginjak menjadi nenek.

‘Seperti kondisi air mengalir ke tengah sawah yang masuk dari jelinjingan atau telabah. Lihat itu Luh, banyak sekali sampah plastiknya. Ada tas kresek, kemasan diterjen, kemasan camilan, beraneka botol plastik sampai popok bayi’. Ini yang bikin susah’, Pan Jaya kini lebih serius.

‘Susahnya di bagian mananya Bli ?’ Luh Sekar masih tidak faham.

‘Iya…Bli harus rajin-rajin munguti sampah-sampah itu, disamping juga membersihkan sawah dari gulma yang mengganggu. Selain ngeletehin kesucian alam, sampah itu juga mengganggu estetika dan kesuburan tanah, disamping penggunaan pupuk kimiawi dan insektisida secara masal. Ini kan nyusahin namanya. Ekosistem di sawah juga terganggu. Coba Iluh liat, sekarang ini mana ada godogan, be nyalian  dan  lindung di sawah kita?

Luh sekar manggut-manggut,  mulai faham apa yang membuat hati lakinya tadi sempat gundah gulana.

‘Sawah, aliran air beserta sampah plastik itu ibarat tempat kita hidup ini, Pulau Bali. Pan Jaya melanjutkan ‘pidatonya' lagi.

‘Aruh….Bli’, apa lagi ini? Saya ndak ngerti!’, Luh Sekar yang sudah mulai tenang kini mulai tegang dan penasaran lagi.

Sambil mengunyah nasi plus jukut kelor, Pan Jaya melanjutkan pencerahannya. ‘Sawah itu adalah Pulau Balinya, sampah-sampah plastik itu adalah serbuan dari luar yang nyaris tanpa saringan. Semua lolos, akhirnya  menjadi problematika yang harus dihadapi’. Pan Jaya menghentikan kunyahannya karena terasa ada yang mengganggu di dalam rongga mulutnya. Rupanya ada beberapa lembar daun kelor yang nyelip di antara gigi geliginya yang sudah mulai renggang-renggang. Setelah 'gangguan teknis' akibat daun kelor bisa diatasi, Pan Jaya pun melanjutkan ceriteranya lagi.

‘Kalau kondisi ini tidak ditangani dengan baik, ekosistem yang terjalin di tengah sawah juga akan terganggu, padi pun bisa hidup melarat’

Pan Jaya menyendok nasi lagi dari bakul, nambah sesendok nasi tidak apalah, hari ini hari yang cukup melelahkan. Lelah bekerja di sawah, juga kurasan energi mikirin air mengalir.

I Luh Sekar mulai memahami sebuah analogi yang disampaikan suaminya. Walau seorang petani tamatan ‘ESDED’ dia sangat bangga akan sesosok lelaki yang sedang mengunyah makanan di depannya itu. Wawasannya cukup bagus.

Matahari mulai meninggi,  air di jelinjingan juga masih  bergemericik nyaring. Sekelompok burung bangau berputar-putar melayang   rendah, dunia  juga tetap berputar, pelan…… (Catatan Akhir Tahun, 03/12/21)

Komentar