Nikmatnya 'Menghina dan Memaki'
Di Balairung itu, di Kerajaan Indraprasta, Yudistira memuliakan Vasudewa Krisna sebagai tamu kehormatan, sesuai tradisi akan meletakkan mahkota Rajasuya di kepala Yudistira.
Raja-raja dari berbagai
belahan kerajaan diundang hadir. Adalah seorang raja bernama Sisupala hadir dan
duduk di kursi undangan, tiba-tiba berdiri lalu dengan penuh kebencian mencela
keputusan Yudistira. Dia menghina Yudistira, mengejek Bima, menistakan Arjuna,
mengutuk Si Kembar ‘Nakula Sahadewa’ juga merendahkan serendah-rendahnya derajat
Drupadi serta menunjuk muka Bisma, sebagai orang tua yang paling dihormati.
Deraian ucapan penuh
hinaan yang dia semburkan justru semakin memanaskan hatinya sendiri. Lambat
laun, kata-kata penghinaan telah mengantarkan rasa kenikmatan yang luar biasa bagi
Sisupala. Dapat kesempatan memaki Sri
Kresna, Yudistira dan saudaranya di hadapan publik. Dalam setiap peristiwa selalu
terjadi kontroversial, selalu ada orang-orang bersorak sorai dan tepuk tangan memberi
dukungan. Duryadana manggut-manggut, Sekuni tersenyum dengki. Kepercayaan diri yang berlebihan serta sebuah kebanggan yang tiada tara, itulah yang
dirasakan Sisupala kini.
‘Pertalian Karma’
Kisah bermula di
Kerajaan Chedi. Damagosa adalah rajanya dan Srutasrawa permaisurinya. Mereka masih
terikat kekerabatan dengan Vasudewa Krisna. Pasangan raja permaisuri ini seorang
putra bernama Sisupala, yang lahir dengan tiga mata dan empat lengan. Kondisi
bayi ini membuat orangtuanya berniat untuk membuangnya. Adalah sabda dari
langit agar niat tidak baik itu diurungkan saja, karena Sisupala ditakdirkan untuk hidup sampai
dewasa. Sisupala dapat menjadi normal jika dipangku oleh seseorang yang
istimewa, yaitu seorang titisan Wisnu. Sabda langit itu juga meramalkan
kematian Sisupala akan terjadi di tangan orang yang sama yang menghilangkan
mata ketiga dan 2 lengannya.
Ketika Vasudewa Krisna
dan keluarganya menjenguk Srutasrawa, Vasudewa Krisna memangku Sisupala.
Seketika itu pula mata dan lengan tambahan di tubuh Sisupala tiba-tiba lenyap.
Mengetahui hal tersebut, orangtua Sisupala sadar bahwa kematian Sisupala juga
berada di tangan Vasudewa Krisna. Karena itu mereka menyembah dan memohon agar
Vasudewa Krisna mau berjanji mengampuni kesalahan yang diperbuat Sisupala
apabila anak tersebut sudah dewasa. Vasudewa Krisna berjanji bahwa ia akan
menahan kemarahannya, namun ia juga memberi ruang pagi perwujudan karma : ia
memberi batas apabila Sisupala sudah menghinanya lebih dari 100 kali, dan
penghinaan itu dilakukan di hadapan orang banyak, maka Vasudewa Krisna
dibebaskan dari janjinya untuk memaafkan Sisupala.
(Ceritera Berakhir di Balairung)
Di Balairung itu, di Kerajaan Indraprasta, Sisupala semakin tidak dapat mengendalikan diri. Kebencian hatinyanya pun ditujukan kepada Vasudewa Krisna. Krisna disebut sebagai penipu, dia juga menyalahkan sambil menunjuk muka Bisma, menghina Drupadi dan Pandawa. Dengan kasar penuh amarah ia terus melontarkan cacian dan hinaannya dengan asumsi kebenaran 'semu' yang dia miliki sendiri. "Hai Krisna, lelaki macam apa kau, kau telah menjalin hubungan khusus dengan seorang wanita bernama Drupadi yang telah memiliki suami 5 orang", salah satu ucapan Sisupala. Krisna telah mengngingatkan kembali, bahwa Sisupala akan dimaafkan hanya sampai 100 kesalahan. Kebencian, caci maki dan hinaan telah menghapus ‘budi dan daya’. Tiada lagi kejernihan fikiran dan kebeningan hati, seakan tak punya hal baik untuk diucapkan, stok di hatinya hanya diisi kebencian. Kenikmatan mencaci maki dan menghina betul-betul telah melenakan dirinya, sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Waktu terus berjalan, Hukum Karma terus melaju, tidak pernah salah mencari jalannya. Chakra Sudarshana pun menyala di tangan Vasudewa
Krisna. Kepala
Sisupala akhirnya terpisah dari badan. Ia mati. Chakra Sudharsana telah
mencegah Sisupala dari dosa-dosa lain yang pasti akan terus dibuatnya bila ia
hidup. Kematiannya adalah pembebasannya. Hadirin lain yang tadi ikut bertepuk tangan dan bersorak sorai sontak
terdiam, membisu. Dalam fikiran berkecamuk perasaan, ‘kapan giliran saya, dalam
bentuk apa ?’ karena karma selalu saling berkait.
💬 Tulisan ini diambil dari berbagai sumber, dan dituturkan dengan gaya saya.
MOGI RAHAYU...!!!
Komentar
Posting Komentar