Kapu-Kapu Yang Tak Cemburu Lagi
Kapu-kapu terhempas, tidak peduli atas dirinya, entah akan terhempas dimana lagi. Sudah takdir, hidup di air dengan nasib tergantung hempasan angin, hidup sebagai pelengkap kekayaan alam flora air, bagian dari jalinan ekosistem di sebuah telaga. Kapu-kapu merasakan kehadirannya di dunia tanpa guna.
Angin seolah-olah berhenti berhembus, awan pun enggan berarak. Kapu-kapu memandang alam sekitar telaga. Telaga terhampar di balik bukit dengan airnya yang tenang dan jernih. Di tepi telaga tumbuh sebatang pohon kelapa dengan anggunnya. Ketika angin bertiup, dedaunnya meliuk-liuk. Di tengah telaga tumbuh teratai dengan bunga-bunga yang tiada bosan bermekaran. Sekelompok ikan mas berenang lincah, bermain saling berkejaran. “Sungguh sebuah anugerah Yang Maha Kuasa terhadap bumi, indah, begitu memesona, tapi saya….?”, kapu-kapu membatin. Dalam suasana semarak di telaga, ada kapu-kapu yang sedang merintih, menyesali jalan hidupnya. Diliriknya pohon kelapa yang kini tepat berada di atasnya, hatinya mendidih.
Diantara flora lain yang hidup dalam ekosistem di sekitar telaga, kapu-kapu paling cemburu kepada pohon kelapa. Bagaikan bumi dan langit begitulah ia merasakan perbedaan hidupnya. Dibanding-bandingkannya dirinya dengan pohon kelapa. Dari penyebutan nama saja pohon kelapa punya nama dan sebutan lain, ada yang menyebutnya ‘pohon nyiur’, diberi julukan sebagai ‘raja kelana’, sungguh mulia, dipuja semua makhluk bumi. Dijadikan inspirasi oleh seniman, sehingga terciptalah banyak karya. Ada lagu ‘Nyiur Hijau’ , ‘Rayuan Pulau Kelapa’. Pohon kelapa juga dijadikan lambang kepanduan dengan wujud ‘tunas kelapa’. Yang paling membuat kapu-kapu semakin meleleh, ketika pohon kelapa diposisikan sebagai pohon serbaguna, mulai dari pucuk daun yang masih muda dijadikan berbagai anyaman, ketupat, hiasan ‘janur melengkung’ sebagai ciri kemeriahan pesta pernikahan. Batang kelapa yang kokoh sebagai bahan bangunan, sampai ‘bonggol’nya dapat dijadikan furniture antik. Sempurna, sedangkan kapu-kapu ?
Kapu-kapu memandang bayangannya sendiri di permukaan air. “Ini aku, aku dipanggil kapu-kapu, sungguhlah tidak keren. Kenapa tidak disebut melati saja, sebuah nama yang sangat manis, atau bougenvile atau anthurium alias gelombang cinta, wow...., atau….?” Kapu-kapu kembali membandingkan nama dirinya dengan nama-nama indah bangsa flora lainnya.
Kesegaran air telaga sudah tidak dirasakan lagi, kapu-kapu merasa semakin terpuruk, merasa sudah berada pada titik terhina dalam hidupnya ketika terngiang sebuah pengibaratan kehidupan ketika seseorang diungkapkan ‘bagaikan kapu-kapu’. Ungkapan ini ditujukan kepada seseorang yang sedang labil, tidak punya sandaran hidup, tidak punya pegangan, tidak punya pendirian yang kokoh, ngambang kemana-mana mengikuti hembusan angin. “Oh…. tiada kebanggaan dilahirkan sebagai bangsa kapu-kapu ”. Kapu-kapu lunglai.
Angin berhembus perlahan, awan pun berarak pelan. Kapu-Kapu berandai-andai…, bila saja dia dapat menjelma menjadi pohon kelapa, dia akan bercermin terus dipermukaan air telaga, betapa cantik dirinya. Bila ada angin menerpa dia akan menari lebih gemulai, akan dipanggilnya burung manyar agar membuat sarang terindah pada pelepah daunnya, akan dipanggilnya burung kutilang agar hinggap di pucuknya, lalu nyanyikan lagu terindah untuk dunia. Kapu-kapu dalam alam khayal, melaju ke tengah telaga. Angin terlalu jahil menghembusnya kemana-mana.
*****
Ini adalah kondisi terindah di sekitar telaga. Bulan purnama tiba, bias sinarnya menerpa batang-batang pohon, menembus sela-sela dedaunan, lalu menghujam ke air telaga, pantulan cahaya bulan menambah eksotisnya suasana malam. Katak dan kodok pun bersemangat dalam simfoni malam yang indah. Di balik bukit, di bawah pondok kecil, anak gembala masih memainkan seruling batang padinya. Memukau, lukisan alam yang sesungguhnya.
Alam yang terang perlahan memudar, awan berubah pekat, gelap gulita. Tiada lagi sinar bulan, sirna. Kilatan petir mulai muncul, semakin lama semakin dahsyat, terdengar suara gemuruh. Angin kencang, gelap mencekam. Kapu-kapu tidak bisa melihat apa-apa, melihat bayangan sendiri pun tidak kuasa, hanya merasakan dirinya meluncur kencang, lalu terasa benturan keras dengan batuan di tepi telaga.
Satu kilatan maha dahsyat, menyilaukan mata dan suara gelegar yang membumi, halilintar menghujam pohon kelapa. Seketika pohon kelapa bergetar, terbakar, lalu tumbang ke dalam jernihnya air telaga. Kuasa alam, dalam hitungan detik, segala keindahan, segala sanjungan, ketinggian hati, lunglai, jatuh, porak poranda.
Kemurkaan alam mereda, fajar menyingsing, matahari mengintip dari ufuk timur, perlahan meninggi, sinarnya menghangat.
Kapu-kapu masih tertegun atas peristiwa semalam yang terjadi. Badannya masih terhempas di pinggir telaga, di antara bebatuan. Dipandangnya dalam-dalam kondisi pohon kelapa yang tumbang, sebagian batangnya tenggelam, sebagain masih terbaring disisi telaga dan ribuan siput tiba-tiba merubung dan menempel pada batangnya, menjijikkan. Kapu-kapu dalam perenungan, tiba-tiba ada beban hidup yang pelan-pelan terasa mulai terurai. Kini kapu-kapu merasa bersyukur bahwa alam telah menakdirkan dirinya untuk tidak menjadi pohon kelapa. Hanya menjadi tumbuhan kapu-kapu. Hidup di dunia sebagai kapu-kapu akan terhindar dari terjangan petir. “Mana ada ceritera di dunia ini, kisah kapu-Kapu disambar petir” pikirnya.
Angin berdesir perlahan, kapu-kapu bergerak perlahan, merasakan betapa nyamannya berlayar dan melayang di air telaga nan tenang. Ada ribuan bintik-bintik telor ikan yang dititipkan induk ikan, menempel pada akarnya yang menjuntai ke dalam air, telor-telor itu harus dia jaga. Kini hidupnya terasa sangat berarti untuk kelestarian ekosistem di telaga itu.
Angin berhembus tenang, awan bergerak perlahan meninggalkan bayangan di air telaga, matahari meninggi, cerah….
(Puri Loji PAS, 06/4/14)
Komentar
Posting Komentar