Memburu Eksotisme 'BLUE FIRE' di Kawah Ijen


S
ebenarnya trip 'jalan-jalan' kami kali ini termasuk trip dadakan, diputuskan untuk melakukan perjalanan ke Kawah Ijen sehari sebelum keberangkatan, tapi karena saya fikir persiapan tidak terlalu complicated, saya okein. Akhirnya, Rabu, 10 Juli 2019, pukul 10.00 WITA berangkat dari Denpasar. Perjalanan sangat lancar, melewati ‘jalan negara’, jurusan Denpasar – Gilimanuk. Setelah mengisi stock energy alias makan siang di Ayam Betutu Men Tempeh, di dekat pelabuhan. kami menyeberangi Selat Bali menuju Pelabuhan Ketapang di tanah Jawa. Dari Ketapang lanjut menuju Kota Banyuwangi, Glagah, Licin, sekitar 1 jam perjalanan. Sebelum Maghrib, kami telah sampai di ‘Pos Pendakian’ di Pall Tuding, kawasan Taman Wisata Alam Kawah Ijen . Keluar dari mobil, udara menyeruak dingin, suhu menunjukkan angka 14 derajat Celcius. Sebenarnya dinginnya udara sudah terasa ketika kami memasuki hutan, dengan jalan berkelok, kadang tajam dan menanjak.

Kami mencari tempat parkir terbaik, menyiapkan segala sesuatunya, termasuk mendirikan

tenda. Di area parkir sudah ada beberapa mobil parkir dengan tujuan yang sama. Karena baru pertama ke tempat ini, kami mencari berbagai informasi berkaitan dengan pendakian gunung ini. Dan, ternyata pendakian baru diizinkan (dibuka) mulai jam satu dini hari. Jadi ada cukup waktu untuk mempelajari lingkungan sekitar.

Pengelola kawasan ini sudah menyiapkan beberapa titik untuk mendirikan tenda (semacam bumi perkemahan). Disediakan space berukuran 3X3 M dengan tinggi level sekitar 15 Cm berlantai semen. Ini perencanaan yang bagus, sebagai antisipasi ketika hujan, air tidak akan masuk tenda. Di sinilah, tinggal pilih tempat untuk mendirikan tenda. Di sebelah zona perkemahan terdapat bangunan cukup besar, di dalamnya berjejer toilet, cukup bersih. Bayar Rp. 2.000,- sekali pakai. Di seberang ‘Gedung Toilet’ berdiri anggun bangunan ‘Representasi’. Karena tutup, saya intip dari celah-celah pintu kaca, terlihat maket Kawah Ijen, berbagai informasi yang tertempel di dinding ruangan : tentang satwa dan flora yang hidup di kawasan ini, sejarah Ijen, onggokan (sample) bongkahan belerang, dll.


Ketika tenda telah berdiri dan semua properti pendakian masuk tenda, kami keliling lingkungan sekitar,melihat warung-warung yang berjajar rapi di seberang lapangan parkir. Cukup seru, mereka menyiapkan api unggun di depan warung. Kita bisa numpang gratis menghangatkan badan di api unggun tersebut sambil pesan aneka makanan, mulai makan berat sampai camilan. Mereka juga menjual berbagai properti pendakaian, ada saja pendaki yang membeli lampu senter, sarung tangan, syall, topi sampai jacket. Saya memilih salah satu api unggun yang sudah dinyalakan di depan warung yang pojok barat, yang muter musik Campur Sari, hehe..agar lebih terasa nuansa di Jawanya. Setelah ‘beremeh-temeh’ dengan pemilik warung, saya pesan pisang goreng dan teh panas plus jahe saja, hmmm… Beberapa pendaki lain juga mulai berdatangan, ikut nimbrung. Kami kenalan, eh… ada yang dari jauh, Kalimantan. Kami ngobrol hangat sambil menunggu ‘portal’ pendakian di buka. Udara semakin terasa dingin, api unggun semakin berkobar.


Jam 00.00 WIB kami segera beringsut ke tenda, menyiapkan segala sesuatunya. Beberapa saat kemudian sudah berdiri dekat portal pendakian bersama puluhan pendaki lain, ada yang menggoyang-goyangkan badan melakukan peregangan. Kami rombongan keluarga yang ada anak-anak, ABG dan usia veteran. Sebelum berangkat kami melakukan brieff ringan, yang dewasa mengawal satu usia junior. Saya kebagian mengawal ABG yang energinya sedang meledak-ledak, tapi saya harus menjada emosionalnya. Pemimpin rombongan mengulurkan satu sloki white wine. Saya menyambutnya, dan segera menyorongkan ke bibir, lalu ‘gleg’. 'Untuk nambah kalori dan menghangat badan', katanya. Tapi saya tidak rekomendasikan cara ini, terutama untuk anda yang tidak biasa minum alkohol tinggi, malah bisa sempoyongan. Ini pengalaman saya yang sedikit sempoyongan juga, wkwkw...

Begitu portal dibuka, serempak derap langkah pendaki melaju, suara benturan sol sepatu dengan tanah memecah kesunyian malam. Lampu-lampu pendaki berpendaran di mana-mana, dari jauh seperti kunang-kunang terbang di lereng tebing. Semakin jauh, jalan semakin menanjak.

Apa menariknya pendakian Gunung Ijen ?
Sekedar referensi, bahwa gunung dengan tinggi 2.443 mdpl (ada juga yang menyebutkan 2.386 mdpl), terletak di perbatasan Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. Pendakian ini ramai dilakukan oleh pendaki / wisatawan lokal maupun mancanegara. Mereka mau melihat ‘sensasi’ fenomena alam, blue fire. Itulah target perburuan utama para pendaki sampai-sampai mereka rela mendaki selama 2-3 jam dengan medan tanah berpasir dan sesekali bebatuan, serta kemiringan 40 derajat. Belum lagi ditemani dinginnya udara tengah malam pegunungan yang menusuk hingga ke tulang. Letupan api berwana biru yang muncul dari Kawah Ijen inilah yang ditunggu-tunggu. Waktu terbaik untuk melihatnya memang dinihari antara pukul 02.00 hingga 04.00.

Berdasarkan catatan geologi, gunung Ijen pernah meletus pada tahun 1796, 1817, 1913, 1936, terakhir meletus pada tahun 1999

Banyak yang mengira kalau blue fire di kawah Ijen adalah api. Kenyataannya, itu bukanlah api. Blue fire adalah fenomena keluarnya gas belerang yang muncul dari celah-celah batuan dengan suhu hingga 600 derajat Celsius dan bertemu dengan udara sekitar. Inilah yang membuat blue fire, terlihat seperti api berwarna biru. Begitulah konon penjelasan ilmiahnya.

Sepanjang perjalanan, sampailah pada trek terekstrim yang pernah kami temui. Dari perjalanan di punggung gunung menuju puncak kawah, kini saatnya menuruni kawah, bak masuk ke ‘perut bumi’, gelap gulita, jalan sempit dengan bebatuan terjal bercampur kerikil dan pasir. Dengan senter di tangan mencari-cari ruang sebagai tempat berpijak. Bila berpapasan dengan seseorang atau rombongan yang sedang naik dari kawah, maka yang dari atas musti kasi kesempatan, kadang musti menempelkan badan ke dinding bebatuan.

Entah saking semangat melangkah bersama sang ABG, kami melaju mendahului pendaki

lain. Tiba-tiba kami hanya merasa berdua saja dalam trek pendakian ini. Cahaya senter kami sorotkan ke jalan arah atas, tidak ada seorang pun pendaki yang nampak, lalu ke arah bawah, juga tidak ada siapa-siapa. Sempat khawatir, jangan-jangan kami tersesat, keliru ambil jalan. Dalam kondisi seperti ini, salah satu cara adalah dengan menenangkan diri, mencari tempat istirahat. Badan mulai lembab berkeringat, dingin terasa berkurang. Di sebuah cerukan, kami duduk istirahat, mengeluarkan bekal air dari dalam ransel, minum beberapa tegukan. Sekitar 5 menit, suara gemuruh langkah kaki terdengar di atas, juga pendaran lampu senter mulai terlihat. Hati kami lega. Tiga orang pendaki juga terlihat sudah balik dari kawah. Saya tanya, apa blue fire masih jauh ? Salah satunya menjawab, ‘tuh…di depan, 10 meter lagi’, jawabnya. Wah,…ternyata kami sudah sampai. 

Saya lirik jam tangan, pukul 03.15 WIB, lalu bergegas melanjutkan langkah. Benar, kami telah sampai. Pada beberapa titik terlihat cahaya biru ‘menyala-nyala’. Saya tidak bisa mengidentifikasi lingkungan, seperti apa kondisi di dasar kawah ini, karena gelap. Sorotan lampu senter tidak sanggup menembus asap belerang yang keluar dari celah-celah bebatuan, hanya terlihat titik-titik api biru saja yang meliuk-liuk menari. Segera saya keluarkan ponsel, mengambil gambar foto dan video. Bisa jadi asap belerang sempat menerpa wajah, walau telah memakai masker, nafas sempat sesak, susah bernafas, mata perih dan air mata meleleh deras. Tidak kuat berlama-lama berada di lokasi ini, kami segera menyingkir dan menyiram muka dengan sebotol air, terasa lebih lega, lalu bergegas naik lagi.

Melangkah, naik…dan terus naik menanjak. Kini giliran kami yang ‘tancap gas’ untuk sesegera mungkin bisa nyembul dari ‘perut bumi’, sementara para pendaki yang sedang turun menuju ‘blue fire’ memberi prioritas jalan naik.

Entah berapa lama kaki melangkah, kami sudah berada di ujung puncak kawah lagi.
Menunggu saat-saat sunrise. Ini bonus dalam pendakian, dapat melihat ketika matahari mulai menebar pesona eksotisnya di muka bumi. Alam sekitar memerah, lama-lama terang lalu benderang. Barulah kami bisa melihat alam sekeliling puncak. Angin cukup kencang, para ‘petani’ belerang nampak berseliweran dengan barang-barang di panggulannya. Ada yang menawarkan jasa ‘troli tandu dorong’ buat yang sudah tidak kuat melangkah lagi untuk balik ke bawah sampai di Pall Tuding. Ada juga yang menawarkan berbagai ‘hasta karya’ berbahan belerang. Sekitar pukul tujuh, saya memutuskan untuk turun, balik ke Pall Tuding, pertama: karena tidak tahan
dingin, kedua: karena matahari sudah cukup menyengat. ketiga: karena sudah puas melihat-lihat dari puncak kawah. Rute turun, sama dengan rute naik. Cukup kaget juga ketika tahu dan melihat bahwa jalur naik-turun ternyata cukup sempit, sementara jurang dalam menganga di sebelah jalur pendakian. Ah... kami tidak melihatnya semalam.

Pelan-pelan kaki melangkah, mengikuti jalan yang menurun, angin mendesir tipis. Saya kencangkan kerah jacket.

Tuhan, terimakasih atas anugerah dan perlindunganMU…..!!!

Komentar

Postingan Populer