Petani, Barista, Penulis Gadungan dan Buah Dewandaru
Walaupun
bukan ahli tanaman, tapi saya suka menanam. Tanaman apa saja, terutama tanaman
yang buahnya kelak bisa dikonsumsi buat diri sendiri atau dibagi-bagi
kepada teman dan atau saudara. Nah, karena saya bukan petani, sebut saja sebagai 'petani gadungan'.
Walaupun
bukan seorang ‘barista’, tapi saya suka ‘ngeracik’ kopi. Kopi ini buat konsumsi
sendiri, terkadang kalau ada teman atau kerabat main ke rumah, dengan bangga nawarin kopi buatan saya. Untuk profesi ‘barista gadungan’ ini pun saya tidak
ada masalah. Paling-paling mereka
bilang, ‘kopi apa ne? sing jaen! Heheheh… Dengan candaan seperti ini, malah
suasana minum kopi akhirnya berasa lebih ‘hangat ‘ dan akrab.
Walaupun
bukan seorang penulis, saya juga suka menulis . Menulis, mengalir begitu saja. Apa saja yang dapat menginspirasi dan menstimulasi otak ini untuk mulai menjejakkan pena di atas kertas atau mesin ketik (sekarang di komputer). Sejak
di bangku sekolah, hati ini begitu sumringah bila tulisan bisa terpampang di ‘mading
sekolah’, terbitan kampus atau bulletin
‘komunitas’ lainnya.
Kini, saya lebih banyak menulis naskah untuk iklan. Syukur tulisan tersebut dapat diterima oleh klien sebagai penunjang strategi promosi terhadap produk atau layanan jasa yang dikelolanya. Untuk menulis hal lain, sudah tidak ‘produktif’ lagi. Keisengan menulis sekali-sekali saya curahkan di ‘blog pribadi’. Terkadang beberapa hal yang tidak terlalu penting dan lebih kepada ‘lucu-lucuan’, serta merta saya tuliskan di media sosial. Sayang untuk tidak dimanfaatkan sebagai ajang 'silahturahmi' kepada teman lain. Eh, ternyata ‘profesi gadungan’ sebagai penulis ini malah banyak tantangannya. Diserang, disindir dan dituding sebagai ‘sastrawan dan sarjana S1 Ideot’, ‘orang yang pandai bersembunyi di balik tulisan’, ‘sejarawan palsu’ sampai ‘cicing siu telu’. Walau demikian saya tetap bangga dengan tulisan sendiri, dengan pemikiran asli seorang idiot tanpa pernah menjiplak karya orang lain (plagiator).
Kini, saya lebih banyak menulis naskah untuk iklan. Syukur tulisan tersebut dapat diterima oleh klien sebagai penunjang strategi promosi terhadap produk atau layanan jasa yang dikelolanya. Untuk menulis hal lain, sudah tidak ‘produktif’ lagi. Keisengan menulis sekali-sekali saya curahkan di ‘blog pribadi’. Terkadang beberapa hal yang tidak terlalu penting dan lebih kepada ‘lucu-lucuan’, serta merta saya tuliskan di media sosial. Sayang untuk tidak dimanfaatkan sebagai ajang 'silahturahmi' kepada teman lain. Eh, ternyata ‘profesi gadungan’ sebagai penulis ini malah banyak tantangannya. Diserang, disindir dan dituding sebagai ‘sastrawan dan sarjana S1 Ideot’, ‘orang yang pandai bersembunyi di balik tulisan’, ‘sejarawan palsu’ sampai ‘cicing siu telu’. Walau demikian saya tetap bangga dengan tulisan sendiri, dengan pemikiran asli seorang idiot tanpa pernah menjiplak karya orang lain (plagiator).
Kalau pun sedang menulis tentang sebuah kritik (jadi teringat tentang apa yang dikatakan Bapak
Jokowi, Presidan kita, bahwa kritik itu beda dong dengan fitnah, kebencian,
apalagi sampai merendahkan orang dengan kata-kata kasar), semata-mata hanya mencoba melihat (tentu dari mata saya) sebuah peristiwa
sebagai ‘gejala sosial’ yang sedang tumbuh di masyarakat secara umum. Saya tetap berusaha berpegang teguh pada kaedah
penulisan, mengikuti ‘rambu-rambu’ yang
ada, termasuk memperhatikan EYD, tata bahasa dan nilai kesopanan, tetap berusaha untuk tidak menggunakan kata-kata
yang kasar, memaki-maki, misuh-misuh. Bukankah ada istilah bahasa menunjukkan ‘wangsa',
wkwkwkw… (maaf, kata yang terakhir terpeleset dikit, maksudnya 'bangsa')
Saya menganggap tulisan itu ibaratnya sebagai minyak wangi yang sedang disemprotkan pada sebuah ruangan, di mana di ruangan tersebut ada banyak orang. Tentu akan menimbulkan reaksi yang beragam. Buat mereka
yang sehat alias tidak memiliki riwayat
alergi tertentu, tidak akan ada masalah apa-apa, tidak ada reaksi apa pun
terhadap tubuhnya. Barangkali lebih banyak yang menyukai kesegaran dan
keharuman ruangan tersebut. Nah…, buat
yang punya riwayat alergi, bisa jadi akan bersin terus- menerus sampai keluar semua
ingus dan air mata. Ada juga yang
garuk-garuk kegatalan, karena kulit
yang teramat sensitif.
Lalu, apa hubungan antara ‘petani gadungan’, ‘barista gadungan’
dan ‘penulis gadungan bin idiot’ di atas? Hubungannya adalah, ketika sedang menulis cerita ‘fiksi’ ini, saya juga
sedang minum kopi, sambil menunggu ‘jatuhnya’ buah Dewandaru yang sedang
ranum-ranumnya, sungguh tidak sia-sia menanamnya. Menanam pohon Dewandaru, akhirnya
tumbuh dan berbuah Dewandaru pula. Alam tidak akan pernah ingkar janji, tidak
akan merubahnya menjadi buah yang lain seperti belimbing besi atau celagi misalnya, atau seperti dalam sepenggal kata dalam lirik lagu lagu Broery, tidak
akan menjadi ‘semangka berdaun sirih’, hahahaha.... Akhirnya pohon
Dewandaru ini menjadi pohon ‘pemanis’ di sudut rumah, bukan menjadi tanaman ‘pengecut’
di sudut rumah, wkwkwkwk…. 😄
Komentar
Posting Komentar