MENJADI KOMPOR (Sebuah Pembelaan)

Apa yang ada dalam pikiran anda ketika anda mendengar kata ‘menjadi kompor’, atau anda disebut sebagai ‘menjadi kompor’ dalam suatu peristiwa. ‘Menjadi kompor’ adalah kata kias yang ditujukan kepada seseorang yang punya andil besar dalam ikut ‘manes-manesin’ sebuah peristiwa, sehingga peristiwa yang biasa menjadi luar biasa, suasana yang awalnya adem menjadi heboh, panas, membara. Menjadi  ‘gaduh’ dalam bahasa politik zaman sekarang. Dalam padanan kata lain ‘menjadi kompor’  masih bersaudara dengan  kata ‘provokatif’, bahasa yang sangat umum kan?

Begitulah, ‘menjadi kompor’ adalah gabungan dua buah kata yang  apabila disambungkan jadi satu tiba-tiba berubah menjadi kalimat yang diposisikan sebagai hal yang negatif, rendah, dinistakan. Sebegitunyakah ?  Tidak !!! Paling tidak begitu menurut saya. Kadang ‘otak’  kita terlalu lama ‘bermesraan’  dengan  apa yang ditangkap, diserap. Misalnya: langit itu biru. Bukankah langit juga terkadang kelabu, jingga dan memerah. Es itu beku dan bisa mencair. Tidak juga, ada juga es tidak mencair, tetapi menguap (dry ice).   Kemesraan otak mememori secara lengket inilah dikalangan muda sering diistilahkan dengan kata ‘mainstream’.

BTW, agar tidak ‘OOT’ (eeh banyak istilah gaul nih…), kita balik lagi ke topik ‘menjadi kompor’. Sebenarnya  kompor tidak salah. Seharusnya yang dituduhkan adalah api. Kompor  hanya alat atau medium, dimana api bisa menyala dengan baik. Kalau hanya sebuah medium, kenapa kompor lagi yang disudutkan sebagai penyebar panas, bukankah ada media lain,  tungku misalnya.  Nah itu tadi, karena kompor sudah mainstream banget. Baiklah, dalam hal ini kita sepakati saja bahwa komporlah yang jadi biang keladinya. 

‘Si Kompor’, dengan sifat-sifatnya yang  suka manes-manesin sudah kadung diposisikan sebagai hal yang negatif. Padahal sesungguhnya fungsi kompor amatlah mulia. Hampir setiap rumah tangga punya kompor. Kompor adalah suami kedua dari Ibu-Ibu. Kisah-kasih Ibu-Ibu begitu mesra dengan kompor, sejak pagi-pagi buta hingga jelang makan malam. Tanpa kompor niscaya akan bisa tersaji berbagai jenis makanan di atas meja makan. Sup, soto, gulai dan makanan yang berkuah-kuah lainnya tidak enak dimakan dengan kondisi dingin, perlu dipanesin lagi kan? Ingat, jangan mainstream lagi. Kompor bukan saja sebagai alat masak saja. Ada juga kompor mayat, kompor yang berfungsi untuk segera melumatkan daging dan tulang manusia  menjadi abu dalam upacara kremasi.

Lalu, apakah kita tetap dan harus menistakan kompor? Jadi,  buat anda yang dituduhkan ‘sebagai kompor’  jangan  keburu 'meledak', harusnya tetap tersenyum. Tersenyum manis, semanis- manisnya...!!!

Komentar