'BONEKA PRESIDEN'
Sore
yang temaram, hujan gerimis, gedung besar bercat putih tampak kokoh menyambut
malam. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Dari jendela-jendela kaca cahaya berpendar
keluar menerpa daun-daun palem dekat jendela, warnanya keemasan. Pesona indah dari sebuah rumah mewah.
“Enak
ya, kamu diciptakan sebagai boneka Barbie?”
“Itu
k arena kamu selalu ngeliat aku saat
ditimang-timang dan dimanja-manja Non Ega, kan?”
“Iya
!”
“Itu
mah dulu, sekarang aku nggak pernah dihiraukan lagi, sejak Non
Ega menemukan boneka Marsha setahun lalu, aku dibiarkan begini, tergolek dan
berdebu. Bukankah sekarang ini Non Ega lagi jatuh hati sama kamu?, boneka
kurus, berkulit hitam, jelek he…he…” boneka yang dibilang kurus hitam jelek
hanya bisa tersenyum kecut.
“Siapa
namamu” Tanya boneka Barbie lagi
“Aku
dipanggil Koplo”
“Koplo?,
oooo…kamu juga yang dipanggil tuan presiden itu kan? Si boneka hitam hanya bisa
mesam-mesem saja.
“Namamu
sangat aneh, ngga’ keren amat ya?,
kok presiden namanya Koplo? Koplo itu kan nama obat-obatan terlarang, ‘pil koplo’ yang katanya bisa bikin
pikiran mengalir jauh, seperti lagu Bengawan Solo, he…he…. Koplo itu kan juga
nama aliran musik dari Banyuwangi, ‘dangdut
koplo’ wakwkwkwkwkw….” Boneka Barbie tertawa menggoda.
Koplo
sebenarnya tidak suka dengan kondisi ini. Jadi boneka presiden sungguh tidak
sedap. Apa yang diinginkan Non Ega sering berbenturan dengan kata batinnya.
Apalah daya, Koplo hanyalah sebuah alat permainan. Inilah takdir, takdir
dilahirkan sebagai boneka presiden.
Malam
semakin kelam, hujan kembali menyapa bumi, semakin deras. Halilintar
menari-nari, kilatannya menyilaukan mata, suaranya menggelegar, keras. Pikiran
Koplo mulai menerawang, menerawang tinggi menembus kegelapan malam, akhirnya
sampai pada bayangan masa lalunya. Suatu masa dimana Koplo melakoni kehidupan yang
dulu…….
Dalam
kehidupan yang dulu, Koplo bukanlah sebuah boneka, tapi seorang manusia.
Manusia yang baik, rendah hati, apa adanya, suka menolong sesama (yang
bukan sesama Koplo juga sering dia bantu).
Pokoknya yang baik-baik deh.
Suatu
saat, ketika digelar sebuah pesta demokrasi, pemilihan kepala kampung, Koplo
dipaksa dicalonkan oleh teman-temannya. Survey
yang beredar menyatakan bahwa nama Koplo sangat berkibar, teratas, tiada lawan
tanding. Sudah dapat diprediksi, akhirnya Koplo menang mutlak melibas calon
lain, lawan-lawan politiknya. Citra Koplo sebagai kepala kampung sangat baik.
Bintangnya sedang terang, semua orang menaruh simpati. Banyak liputan media
tentang Koplo. Dimanapun, kapanpun dan apapun yang sedang dilakukan Koplo
selalu nongol di tivi, di Koran, di media on
line. Koplo dipuja-puji.
Ketika
ada pemilihan Adipati, Koplo pun diadu pada level jabatan yang jauh lebih
tinggi. Kembali Koplo memenangkan kompetisi ini. Jadilah Koplo penguasa
Kadipaten. Disinilah Koplo mulai berhadapan dengan berbagai intrik dalam
pemerintahannya. Awalnya
ia tidak sadar bahwa kekuasaan itu memang sangat membuai, menggiurkan dan
memabukkan, sehingga membuat siapapun keranjingan kekuasaan, lupa daratan,
menghalalkan segala cara untuk merebut dan mempertahankan hegemoni. Seiring
perjalanan waktu yang penuh dinamika, Koplo juga melihat berbagai penghianatan
dari teman-temannya. Belakangan Koplo tersadar, bahwa ‘manusia adalah srigala
bagi sesama’, ‘homo homini lupus est’
demikian sebuah ‘teori politik’ yang pernah dia baca. Koplo tersungkur dari
persekongkolan jahat. Dia merana, terbuang, sakit-sakitan, lalu menemui ajalnya
dalam kegaduhan politik yang semakin memanas.
Dalam
pengadilan alam baka, saatnya Koplo mempertanggungjawabkan semua prilaku
kehidupan di dunia. Setelah menimbang semua perbuatan baik dan perbuatan
jahatnya, akhirnya majelis hakim memutuskan bahwa Koplo diizinkan kembali
mengulang kehidupan di dunia.
“Saudara
Koplo, saudara diizinkan lahir kembali ke dunia sebagai manusia. Manfaatkanlah
sebaik-baiknya kelahiran saudara kali ini untuk memperbaiki semua kesalahan
yang pernah dilakukan. Dan, sebagai titik awal kehidupan, saudara akan
dilahirkan sebagai bayi lelaki yang manis dan lucu pada sebuah keluarga miskin
di desa”.
Koplo
yang pernah merasakan nikmatnya kekuasaan dan kemewahan duniawi, merinding
mendengarkan keputusan hakim. Merasakan kemiskinan di desa? Dengan semua
fasilitas yang terbatas?. “Duh…..” tanpa sengaja dari mulut Koplo meluncur
kalimat pendek tersebut. Kali ini dia beranikan diri untuk bicara.
“Yang
Mulia, janganlah hamba dilahirkan sebagai manusia miskin, sungguh-sungguh hamba
tidak sanggup. Hamba ingin berada pada sebuah keluarga kaya. Hamba juga ingin
jadi presiden.
“Ha…ha….ha…..
saudara Koplo, sungguh berani saudara bicara seperti itu. Kini saudara malah
minta dilahirkan di keluarga kaya, lalu menjadi presiden lagi. Rupanya saudara
masih tetap haus kekuasaan. Saudara memang tidak tahu diuntung, tidak pernah
bersyukur. Baiklah, permohonan saudara kami kabulkan, tetapi hanya sebagian
saja” hakim menarik nafas sebentar. Mata Koplo berbinar, berharap hakim
mengabulkan permintaannya.
“Saudara
akan berada dilingkungan sebuah keluarga kaya” Hakim menatap tajam ke arah
Koplo.
“Kelak
saudara juga akan diangkat jadi presiden” wajah Koplo sumringah.
“Hanya
saja, kami tidak bisa mengizinkan saudara terlahir sebagai manusia” Hakim
tersenyum ganjil. Suasana hening sejenak, hadirin di ruang sidang saling
pandang, bingung dengan ucapan hakim. Koplo mulai tegang, sikap duduknya jadi
gusar.
“Saudara
tidak akan pernah dilahirkan sebagai manusia, tapi saudara tetap akan jadi
presiden. Terimalah kini takdir saudara dalam kehidupan nanti sebagai ‘boneka
presiden’ ha…ha…ha…..” hakim tertawa keras.
Halilintar menggelegar
berkali-kali, menyambar-nyambar. Menyambar
lamunan, dan menyadarkan Koplo, bahwa ia hanyalah sebuah mainan, boneka
presiden. Bila pemilik mainan sudah bosan, dia pun siap untuk disingkirkan,
dibiarkan terlantar berdebu dalam gudang. Atau…., barangkali akan bernasib
lebih sial lagi, dibuang di keranjang sampah…..
Komentar
Posting Komentar