KATAK YANG MENGEJAR 'LELINTIHAN'

 

Malam itu adalah malam Kacreta, langit terang benderang. Malam Kacreta adalah sejenis bulan purnama dalam kalender bangsa katak. Di sebuah pancoran kecil, tepat di bawah batu yang selalu basah oleh rembesan air, hiduplah keluarga besar katak. Mereka tinggal nyaman di antara lumut, daun busuk, berbaur dengan sampah plastik bekas keripik singkong, kopi sachet, botol minuman, yang entah siapa bangsa manusia tega  buang sembarangan. Kehidupan manusia yang super jorok, buang sampah ‘ngawag’ telah membuat alam tercemar.

Malam itu, keluarga katak sedang rapat keluarga, entah sudah yang ke berapa kali. Malam ini diadakan rapat dadakan, dipimpin oleh Pekak Godogan, katak tertua yang suaranya sudah tidak kröök lagi, tapi lebih mirip suara sandal jepit basah yang diinjak paksa.

“Kita harus tahu asal-usul kita!” seru Pekak Godogan sambil berdiri di atas daun talas.

“Ya, ya!” sahut Kumpi Godogan, katak sepuh yang hobi nyabrang  ke sawah sebelah cari cinta.

“Jangan-jangan kita ini turunan becing-becing! Astaga... memalukan!” seru Ning Katik, katak centil yang lebih sering main TikTok (pakai daun keladi sebagai green screen) daripada lompat-lompat.

“Kok bisa dibilang memalukan?” celetuk Meme Godogan, emak-emak katak paling cerewet, “Kita ini makhluk bermetamorfosis! Mulanya dari taluh, menetas jadi becing-becing... itu loh, yang mirip boba, minuman ABG manusia,  tapi ada ekornya!”

“Eh jangan sebut boba sembarangan!” teriak Buncir Kelur, katak kecil dengan badan montok. “Boba itu mahal !”

Beberapa saat suara hening sejenak, hanya terdengar dengungan nyamuk. Semua katak siap-siap dengan lidahnya. “hup…” lalu ditangkap, tapi tangkapannya nyaplir, nyamuk terbang menghindar.

Lalu Nyoman Cekit, sepupu jauh dari kolam sebelah, angkat suara. “Kita ini katanya makhluk amfibi. Bisa di air, bisa di darat. Tapi belum pernah aku dengar ada manusia yang meributkan siapa leluhur mereka, apa dari cacing, dari kera, atau dari netizen?”

Semua tertawa. Bahkan si kaku Pekak Godogan sampai tersedak, sudah 12 ekor dia menangkap nyamuk, lalu mengunyahnya.

“Yang penting kita sadar diri,” tambah Ngoman, “dari taluh, jadi becing-becing, terus jadi becing berkaki, lalu jadi katak kecil berekor, selanjutnya  jadi katak tanpa ekor, lalu... akhirnya jadi godogan!”

“Setelah itu jadi apa?” tanya Dempel, katak anak-anak yang selalu polos.

“Setelah itu...” jawab Pekak Godogan dengan nada berat, “...kita jadi... Swike!”

Semua katak menjerit serentak, membayangkan badannya dibedah, digoreng dengan bumbu kecap dan mentega,  dijadikan makanan daging kodok yang lezat oleh bangsa manusia. Terkejut,  semua lompat masuk ke air yang penuh lumpur.


Malam pun tiba. Bulan naik tinggi, suara krook-krook bersahut-sahutan dari pangkung ke pangkung,  Tapi di antara tawa dan jeritan, satu hal tetap jadi pertanyaan abadi:

Apakah kita berasal dari godogan, atau becing-becing? Atau jangan-jangan... kita semua cuma sedang ngidih makna urip dalam tubuh licin berlendir ini?

Pekak Godogan mendesah. “Manusia aja belum tentu tahu dari mana mereka berasal, masa katak harus repot mikir?”

Ia lalu merem, magenepang bakat pikir ! sambil tidur bertumpukan daun pisang busuk. Nyaman, seperti tidur di hotel bintang empat setengah.

Lain famili katak, lain pula ras katak yang lain. Mereka adalah jenis enggung, emplegan dan dongkang.

Setelah melakukan paruman agung, mereka masih belum puas akan hasilnya. Mereka bukan bersuara krook-krook saja, tapi juga bawa berita panas.

Pertama, dari famili Enggung. Mereka turun dari ujung pangkung dengan gerakan lambat, sedikit dramatis, bawa semacam naskah panjang digulung, disimpan di tempurung kelapa kering. Kepala keluarga mereka, Enggung Nara Wira, membuka suara:

“Kami dari trah Enggung, setelah sekian lama bingung dengan asal-usul kami, akhirnya memutuskan membakar prasasti lama. Isinya tidak masuk akal!” katanya dengan bangga.

“Lho kenapa dibakar?” tanya Iwak Dongkang penasaran.

“Karena menurut prasasti lama, kami katanya keturunan bekicot yang gagal migrasi! Itu tidak cocok dengan spirit kekatakan kami,” jawab Enggung dengan hidung yang makin mekar.

“Terus sekarang percaya dari mana?” tanya Dongkang lagi.

Enggung Nara Wira berdiri gagah, gulungannya dibuka, lalu membaca keras-keras di depan semua katak yang hadir:

“Kami, Trah Agung Enggung Sutra, meyakini bahwa leluhur kami adalah Enggung Sutra, makhluk sakti mandraguna, sudah ada sejak zaman Megalitikum, kami dilahirkan dari rekahan batu menhir dan selalu hidup berdampingan dengan batu besar dan mitos leluhur gunung...”

“Enggung Sutra?” bisik becing-becing di belakang. “Itu siapa? Konon tersurat di Babad Kapu-Kapu, katanya  !

“Tidak, itu dari mitologi pangkung,” jawab Emak Dongkang sambil mengerutkan wajah.

Enggung  Nara Wira melanjutkan narasinya, “Enggung Sutra adalah yang pertama lompat tanpa kaki, pertama bertapa di lumpur selama dua generasi musim hujan!”

Semua bertepuk kaki belakang, meski sebagian geli, sebagian bingung.

Belum habis tawa reda, muncul juga rombongan famili Emplegan, lengkap dengan panji kecil dari daun pisang dan tulisan “Mahagotra Emplegan”.

Mereka tidak datang bersatu. Dua kelompok mereka malah saling melempar tatapan masam.

“Jangan duduk di situ, ini wilayah Emplegan Biu Batu!” seru salah satu.

“Ngaku-ngaku Biu Batu, padahal jiwamu masih Biu Dangsaba!” balas yang lain.

Ternyata keluarga Emplegan sedang terpecah secara ideologis. Yang satu percaya bahwa mereka keturunan Emplegan Mahagotra Biu Dangsaba, suku katak kuno yang dipercaya sakti dan bisa nyanyi saat bulan purnama. Yang satu lagi percaya bahwa mereka adalah hasil rekonstruksi genetika dari famili Emplegan Biu Batu, kuat dalam fisik, tapi lemah dalam narasi.

“Astaga... jadi kapan kalian lompat?” tanya Pekak Dongkang gemas.

“Kami sedang rapatkan lelintihan dulu, Pekak,” jawab mereka kompak.

Hanya keluarga dongkang yang cukup tenang dalam rebutan lelintihan tersebut. Dari lontar Dongkang Kipo, jelas disebutkan bahwa dongkang adalah pribumi asli. Leluhur mereka dari Hyang Dongkang Yang Agung, bukan dari batu karang (kaang), sehingga wangsa mereka sering dibully dengan sebutan ‘tidong kaang’ (bukanlah dari batu karang) yang dalam ucapan menjadi ‘dongkang

Pekak Dongkang pun menatap langit, sambil berkata,
“Mencari lelintihan itu tidak salah, tapi jangan membabi buta. Kalau terlalu sibuk nyari dari mana asal-usul kalian, bisa-bisa lupa ke mana harus melompat!”


Malam semakin larut. Barisan Katak Bersatu kembali ke habitat masing-masing. Tapi malam itu, satu kalimat menggema di lumpur:

“Asal usul penting, tapi jangan sampai bikin lupa cara nyari nyamuk.”

Karena buat apa jadi Pratisentana Enggung Sutra atau Mahagotra  Emplegan kalau ujung-ujungnya kedinginan di bawah daun keladi?


Buda Umanis Tambir, 180625

 

 

Komentar

Postingan Populer