Cerpen " GEDE TEJANING LANGIT'

Sasih Karo¹  tahun ini terasa lebih dingin dari Sasih Karo tahun-tahun yang lalu, udara dingin yang begitu menyengat, seakan meresap hingga ke tulang. Walaupun pagi telah berganti siang, Desa Landuh Asri yang terletak di kaki perbukitan masih terbungkus ketenangan yang hening.

Kabut tipis melayang rendah, terbang pelan di antara batang pohon dan pondok-pondok kayu yang terlihat sunyi. Bintik-bintik embun menggantung di ujung dedaunan, lalu jatuh perlahan seperti butir-butir kristal saat tertiup angin. Di kejauhan, sekali sekali terdengar kokok ayam bekisar² peliharaan warga diselingi desir angin yang membawa aroma tanah basah.

Sudah sepekan Made tinggal di rumah. Setelah bertahun-tahun merantau di ibu kota, Jakarta, akhirnya ia kembali ke desa kecil yang pernah ia tinggalkan. Tapi bukan kepulangan yang penuh kelegaan. Hatinya seperti medan perang; rasa bersalah yang menggantung berat di dadanya bertemu dengan kerinduan yang nyaris menyakitkan. Di sudut lain hatinya, rasa takut dan malu bersembunyi, siap menyeruak kapan saja, menghantui langkah-langkahnya.

Di setiap sudut rumah, kenangan masa kecilnya seperti bayang-bayang yang terus mengikuti. Suara pintu kayu yang berderit, aroma khas masakan istrinya, tangisan buah hati di malam hari menyatu menyesakkan batin. Made sering duduk sendirian di bale-bale tua di halaman, memandang kosong ke semua sudut pekarangan. Fikirannya melayang, mencoba mencari pegangan di antara semua emosi yang saling bertabrakan dalam dirinya.

Ada keinginan untuk keluar, bertemu dengan tetangga, atau sekadar menyapa teman-teman lama. Tapi langkahnya selalu tertahan di ambang pintu. Ingin segera bertemu dengan pamannya Nengah Sudira, itulah misi kepulangannya ke desa.

Di setiap malam, Made hanya bisa memandangi langit gelap dari jendela kamarnya, berharap waktu bisa menghapus kekacauan ini, atau setidaknya memberinya keberanian untuk menghadapi rencana besarnya.

Hari itu, Desa Landuh Asri terlihat sedikit lebih semarak dari biasanya. Sejak pagi, wangi asap dupa dan bunga memenuhi udara. Di setiap pura kecil di sudut-sudut desa, asap dupa mengepul perlahan, seolah menghubungkan doa-doa masyarakat. Mereka dengan pakaian adat yang rapi, tampak sibuk mempersiapkan persembahyangan.  

Usai bersembahyang di sanggah³ keluarga, Made menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran yang terus menghentak di dadanya. Wangi dupa masih melekat di udara, bercampur dengan aroma bunga cempaka yang mulai layu di atas canang. Ia memejamkan mata sejenak, memohon agar keberanian yang ia kumpulkan tidak memudar sebelum ia tiba di tujuan.

"Demi ini semua, aku harus melangkah," bisiknya kepada diri sendiri dengan pikiran yang sudah bulat. Tidak ada lagi alasan untuk menunda ke rumah Pak Nengah Sudira, pamannya sekaligus sosok yang ia hormati. Dengan tangan sedikit gemetar, Made merapikan kain kamben yang ia kenakan, lalu melangkah ke jalan setapak, melewati pagar bambu kecil yang memisahkan pekarangan rumahnya dari jalan desa. Dalam dadanya, ada harapan bahwa Pak Nengah akan menerima kedatangannya dengan hati terbuka, meski ada juga keraguan yang mencoba menyelinap.

Antara pekarangan rumah Made dengan Pak Nengah berbatasan dengan ladang cukup luas. Ladang warisan turun temurun  yang kini diwarisi keluarga Made dan Pak Nengah. Jalan setapak di tengah ladang menuju rumah Pak Nengah terasa sunyi. Hanya terdengar gemerisik dedaunan yang tertiup angin dan suara langkah kakinya sendiri. Saat mendekati pekarangan rumah Pak Nengah, pintu depan terlihat sedikit terbuka, seperti memberi isyarat bahwa ia sudah ditunggu. Made berhenti sejenak, menyandarkan tubuhnya di pohon Nangka, menarik napas dalam-dalam. Made mengamati kondisi rumah tersebut. Lama Made mematung memandangi rumah tersebut, hatinya kembali ragu.

Sembilan tahun sudah berlalu sejak Made meninggalkan kampung halaman. Di rumah itu, ia meninggalkan seorang bayi laki-laki mungil, bayi berusia tiga bulan, bekulit bersih serta wajah tampan yang diwarisi dari ibunya. Bayi dengan rambutnya yang ikal dan tangisnya yang lirih, adalah harapan terakhir Made setelah kehilangan istrinya, Luh De Suarni. Perempuan yang ia cintai itu pergi lebih dulu, menyerahkan jiwa saat melahirkan putra mereka.

Kehidupan Made penuh luka yang ia sembunyikan di balik senyuman dan keberaniannya. Ia tumbuh sebagai anak yatim piatu sejak usia delapan tahun, setelah kedua orang tuanya meninggal hampir bersamaan. Ketika dunia kecilnya seolah runtuh, Pak Nengah Sudira, pamannya yang sederhana namun penuh kasih, datang menjadi sandaran hidupnya. Pamannya yang membesarkannya dengan penuh cinta, yang mengajarinya tentang tanggung jawab, adat, dan arti sebuah keluarga.

Pak Nengah tidak hanya menjadi wali Made, tetapi juga figur ayah yang selama ini hilang dari hidupnya. Ia yang menyekolahkan Made hingga jenjang pendidikan tinggi, meski harus berjuang keras dengan hasil sawah yang tak seberapa. Saat Made menemukan cinta dalam diri Luh De Suarni, Pak Nengah pula yang berdiri di sisinya, mengurus setiap detail upacara pernikahan, memastikan semua berjalan dengan sempurna menurut adat di desa.

Namun, semua berubah ketika Luh De Suarni tiada. Kehilangan itu memukul Made begitu keras hingga ia memilih pergi, meninggalkan anaknya, desanya, dan semua kenangan yang terlalu berat untuk dihadapi. Dalam kesendiriannya di ibu kota, ia berharap bisa melupakan, tapi sembilan tahun yang berlalu tidak pernah berhasil menghapus rasa bersalah yang terus menghantuinya.

Kini, di depan rumah pamannya yang membesarkannya dengan kasih tak terbatas, Made merasa berat. Ia membawa sejuta pertanyaan: apakah pamannya akan memaafkannya? Apakah anaknya bisa menerima dirinya ? Di antara semuanya, yang paling menakutkan adalah apakah ia masih memiliki tempat di hati orang-orang yang pernah ia cintai.

Merawat bayi dalam kesendirian terasa seperti meniti jalan terjal tanpa ujung bagi Made. Setiap malam ia terjaga, mendengar tangis anaknya yang menggema di rumah yang kini terasa terlalu sunyi. Si buah hati, dengan tangannya yang kecil dan matanya yang polos, selalu menatapnya seolah bertanya, "Bagaimana kita akan hidup, Ayah?" Namun, Made tak punya jawaban.

Ia berjuang keras, mencoba mengisi perut kecil itu dengan susu yang ia beli dari hasil kerja serabutan. Tapi bagaimana ia bisa terus melakukannya? Hidup di desa tidaklah sederhana. Selain memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia juga harus menjalankan berbagai kewajiban adat dan keagamaan yang tak mungkin dihindari. Beban itu, ditambah dengan kesedihan mendalam atas kehilangan istrinya, membuat Made merasa semakin tenggelam.

Di tengah renungannya yang panjang, terlintas pikiran untuk menitipkan bayi itu kepada pamannya, Pak Nengah Sudira dan istrinya. Made sangat mengenal hati mereka, pasangan sederhana yang tidak hanya mengulurkan tangan kepada keluarga, tetapi juga kepada siapa pun di desa yang membutuhkan bantuan. Pak Nengah tidak pernah berkata “tidak” kepada siapa pun, apalagi kepada Made yang telah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.

Namun, meski pikirannya mengatakan bahwa itu pilihan terbaik untuk masa depan anaknya, hatinya tak kunjung menemukan keberanian. Bagaimana ia bisa meminta lebih dari seseorang yang sudah begitu banyak memberinya? Pak Nengah telah menyekolahkan Made, membesarkannya, bahkan mengurus pernikahannya. Apakah pantas sekarang ia menyerahkan tanggung jawabnya sendiri kepada pamannya?

Malam-malam berlalu dalam pergulatan batin yang tak kunjung usai. Made kerap duduk di bale-bale, memandangi anaknya yang tertidur lelap dalam keranjang kecil di sampingnya. Tangannya gemetar saat mencoba menuliskan sebuah surat, berharap kata-kata bisa menyampaikan apa yang tak mampu ia ucapkan. Tapi setiap kali ia mencoba, ia gagal menyusun kalimat yang cukup baik untuk menggambarkan rasa terima kasih dan permohonannya. Surat itu berakhir diremas dan dibuang berkali-kali.

Hingga suatu malam dengan dingin yang menyengat,  Made mengambil keputusan. Ia akan menitipkan anaknya kepada Pak Nengah, tapi ia memilih melakukannya secara diam-diam. Dengan hati yang penuh rasa bersalah, ia melangkah menembus malam, mengendap menuju rumah Pak Nengah. Di Bale Daja, di atas bale-bale Made meletakkan bayi mungil serta menyelipkan sepucuk surat pendek yang akhirnya berhasil ia tulis ditemani derai air mata. Di dalam surat itu, ia memohon maaf, mengungkapkan rasa percaya, dan menitipkan seluruh harapannya untuk masa depan anaknya.

“Paman, saya selalu membebani  kehidupan Paman, sudah tiada tempat lagi buat menaruh cinta kasih dan ketulusan Paman terhadap saya. Sejak kecil hingga berumah tangga, Paman selalu rela menolong. Kini, saya tak kuasa merawat anak ini sendiri. Izinkan saya untuk merantau ke Jakarta. Saya pasti akan kembali pulang, menemui Paman dan anak kecil ini. Saya tidak bisa membekali apa-apa, hanya titip nama buat anak kecil ini, Gede Tejaning Langit. Semoga suatu saat nanti, seperti nama yang tersirat pada anak ini,  bisa membuka harapan baru dalam kehidupan saya, seperti cahaya bersinar di langit, tejaning langit”, demikian surat pendek yang diselipkan di selimut bayi yang tertidur lelap itu.

Setelah mencium dengan pelan ke dua pipi dan kening buah hatinya, dengan langkah berat, Made pergi meninggalkan rumah itu, berharap pamannya akan memahami keputusan yang ia ambil. Namun, di balik itu semua, ia tahu bahwa rasa bersalah ini akan selalu mengikutinya, ke mana pun ia pergi.

Sekitar setengah jam berdiri menyandarkan diri di pohon Nangka, Made terbelalak melihat ke arah angkul-angkul⁶, pintu pekarangan rumah Pak Nengah. Seorang bocah kecil, usia sembilan tahun ke luar dari rumah. Anak kecil bermata indah, berparas tampan itu dengan wajah ceria menaiki sepeda mini. "Gede Teja.... anakku !”, Made ingin berteriak, tapi lidahnya kelu, tiada suara yang keluar. Tanpa terasa, pipi Made basah dengan air mata. Ingin berlari untuk merangkulnya, menciumnya, menggendong anak kecil tersebut. Made tiada keberanian. Lama ia memperhatikan anak berambut ikal tersebut. Made menjatuhkan diri, duduk di bawah pohon Nangka.

Terimakasih Tuhan, para leluluhur, hamba bisa melihat kembali putra hamba dalam kondisi sehat, ceria. Namun saat ini tidak kuasa untuk menjumpainya, beri hamba kekuatan dan keberanian”, Made membatin.

Pelan-pelan Made berdiri, melangkah berbalik arah menuju rumahnya. Made mengurungkan niat ke rumah Pak Nengah. Matahari bersinar terang, menembus sela-sela daun dan dahan pepohonan di ladang. Kabut pelan menghilang. Dunia semakin terang. Kicauan burung kutilang, suara cengeret saling sahutan.

“Tunggu ya anakku, Gede Tejaning Langit, ayah belum siap saat ini, besok akan balik kembali, memohon kepada kakekmu, saatnya Bapak yang mengurusmu lagi”.   Alam menyeruak terang, bagaikan teja yang telah hadir dari langit. Made melangkah dengan pasti dengan hati terasa lebih tentram.  Ada harapan baru yang lebih indah kini tumbuh dalam kehidupannya, lebih cerah dari hari-hari sejak kepulangannya di desa.  Made siap menyambutnya, di Desa Landuh Asri yang asri dan lestari.

 

Catatan:

1)      Sasih Karo1= bulan ke dua dalam  kalender Bali, sekitar bulan Juli pada kalender Masehi.

2)      Ayam bekisar = hasil persilangan anatara ayam hutan (jantan) dengan ayam kampung (betina).

3)      Sanggah =komplek bangunan suci yang ada dalam setiap pekarangan keluarga.

4)      Canang = jenis persembahan sangat sederhana, berisi aneka kembang dalam wadah kecil.

5)      Bale Daja = Bangunan utama yang terletak pada posisi utara dalam sebuah pekarangan rumah

6)      Angkul-angkul =gapura kecil sebagai gerbang keluar masuk  sebuah pekarangan rumah

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer